Nurzaman menyeruput kopinya yang masih panas. Semburan asap yang keluar dari cangkir kopi Nurzaman membuat Nafisa memberanikan diri untuk memulai obrolan."Mas Hanan itu seperti apa Bang?"
Nurzaman menghentikan kegiatan menyeruput kopi panasnya dan mulai menyimpan cangkirnya di atas meja sambil menatap jauh ke depan. Ada gurat kekhawatiran dalam matanya.
"Bang?"
"Hanan itu laki-laki baik, Abang mengenalnya saat Abang pergi dengan Om Yunus."
"Abang sudah lama kenal dengan Mas Hanan?"
"Beberapa bulan ke belakag."
"Kapan Mas Hanan memutuskan untuk mengajak Fisa ta'aruf?"
"Beberapa hari setelah Abah pupus."
"Dan Abang baru memberitahu Fisa sekarang?"
"Maafkan Abang Fisa. Ini semua karena Ummi yang meminta." Nurzaman terlihat muram.
"Fisa, tahu tidak? Dulu Mba dan Abangmu itu menikah ddengan jalur perjodohan." Fitri datang dari balik pintu sambil menggendong anaknya yang masih balita.
"Tapi Fisa gak mau mengulang sejarah Mba."
"Terus kamu maunya gimana Fisa?" Tanya Nurzaman.
"Fisa belum mengenal Mas Hanan Bang."
"Mba juga dulu begitu Fisa. Iyakan Bang?"
"Fisa, dulu Abang dan Mbamu ini dijodohkan oleh guru Abang. Awalnya memang tak ad perasaan apapun, tapi setelah menikah perasaan itu akan muncul dengan sendirinya."
"Fisa, cinta itu ditumbuhkan bukanditanam dari awal. Karena Alloh sudah dengan sempurna memberikan cinta pada hamba-Nya."
Bulir bening mulai berjatuhan membasahi pipi tirus Nafisa. Penuturan Nurzaman beserta istri membuat dadanya terasa sesak.
"Fisa, kita hanya punya Ummi. Abang sudah tak mungkin lagi menjaga Fisa selama 24 jam. Lihat perut buncit Mbamu, lihat Najmi yang sedang tidur dalam pelukan Mbamu, lihat Abang yang menjadi pengganti Abahmu, ...."
Tok... Tok...
"Assalamu'alaikum?"
"Wa'alaikumsallaam."
Nurzaman membukakan pintu dan mempersilahkan tamu itu masuk. Nafisa yang sudah mengetahui kedatangan tamu tersebut pun dengan sigap berpindah menuju kamarnya menumpahkan segala rasa yang menyesakan dadanya.
Nafisa masih saja tenggelam dengan perasaannya, merasakan setiap benda berat yang menindih dadanya. Ponsel yang sedari tadi digenggamnya pun tak kunjung mmemberikan isyarat notifikasi.
"Fisa?"
Perempuan paruh baya yang disebut Ummi oleh Nafisa pun datang membelai pucuk kepalanya. Nafisa terenyuh, menikmati setiap sentuhan yang diberikan Umminya.
"Kamu tidak perlu melanjutkan proses ta'aruf ini nak, Ummi tidak apa-apa."
Setelah berbicara seperti itu Fatimah keluar dari kamar Nafisa.
Nafisa melihat dirinya yang kacau di depan cermin. Mengusap wajahnya, menyembunyikan segala kesedihannya dan membenarkan posisi jilbabnya yang miring. Kemudian menyusul Fatimah keluar dari kamar dan duduk di samping Fatimah."Bagaimana pekerjaannya nak Hanan?"
"Alhamdulillaah lancar Ummi."
"Katanya sekarang sedang sibuk?" Tanya Nurzaman.
"Enggak terlalu sibuk juga kok Bang."
"Nak Hanan kok gak kabarin dulu kalau mau ke sini."
"Mas Hanan bilang sama Fisa Ummi. Cuma Fisa lupa ngabarin Ummi sama Abang kalau Mas Hanan mau ke sini." Nafisa mulai bersuara.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Alhamdulillaah Fisa baik-baik saja Mas."
"Sebenarnya maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk menanyakan sesuatu kepada Nafisa Bang, Mi."
"Apa itu Nan?" Nurzaman mulai penasaran.
"Mohon maaf sebelumnya kalau saya lancang. Saat di rumah sakit kemarin saya bertanya pada Fisa, apakah Fisa mau menikah dengan saya?"
"Fisa?"
"Bicaralah nak, Ummi akan terima semua keputusan Fisa." Fatimah menggenggam tangan Nafisa yang mulai mengeluarkan keringat dingin.
"Bolehkah Fisa bertanya Mas?"
"Silahkan."
"Menikah itu ibadah kan?"
"Iya."
"Bukankah ibadah yang terburu-buru itu jattuhnya malah gak khusyuk?"
Pertanyaan Nafisa membuat seluruh pasang mata yang ada diruangan itu terbelakak tak percaya. Nurzaman bahkan hanya bisa tertunduk, tak mengerti dengan jalan pikiran Nafisa. Tapi, Hanan malah menyunggingkan senyum dinginnya.
"Sholat itu ibadah kan Fisa?"
Hanan malah menjawab pertanyaan Nafisa dengan pertanyaannya.
"Iya."
"Lebih baik mana, sholat di awal waktu atau nunggu kita siap dulu agar sholatnya jadi khusyuk?"
Nafisa tak berkutik. Niat untuk mengulur waktu mah membuatnya semakin terpenjara dengan waktu. Sementara Hanan dengan wajahnya yang datar tanpa ekspresi malah membuat pertanyaan yang sukses membuat Nafisa terpojok. Nurzaman pun enggan untuk berkomentar, ia memberikan ruang kepada Nafisa dan Hanan untuk berpikir.
"Bismillaah... Mas Hanan Fisa terima lamaran Mas Hanan dengan syarat Fisa ingin menikah malam ini juga."
"Fisa?"
"Ummi, jika harus menunggu nanti Fisa takut berubah pikiran lagi."
"Apa Fisa sadar dengan apa yang Fisa putuskan?"
"Alhamdulillaah Fisa sadar dan tidak dalam kondisi terpengaruh apapun."
Malam itu juga Hanan menghubungi keluarganya yang sedng berada di sekitar kediaman Nafisa, keluarga Hanan sengaja datang untuk mendukung misi Hanan dalam mempersunting Nafisa.
Ummi dan Nurzaman pun sibuk memberi kabar beberapa keluarga inti untuk sekedar hadir ke kediamannya malam itu.Hanan menjabat tangan Nurzaman dan melafalkan shigat dengan sekali tarikan Nafas. Nafisa berurai air mata mendengar shigat yang diucapkan Hanan dengan lantang di hadapan keluarganya.
"Dapatkah kau mendengarnya Kakak?"
.
.
.
.
.
Bersambung
.
Terima kasih sudah mampir jangan sungkan tinggalkan vote dan komen ☺️

KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Tak Tereja
Storie d'amore"Bagiku setiap pilihan adalah sebuah petualangan." (Nafisatul Jannah) . . "Kamu terlalu sempurna untuk aku duakan." (Muhammad Hanan) . . "Benar, akulah si pengecut itu." (Tsaqif Al-Farisi) . . "Seharusnya aku tak pernah ada dalam situasi ini." (Tami...