02: Sekolah

535 87 37
                                    

Luna Berlina. Siap dengan seragam baru, sekolah baru, seharusnya ini menjadi pagi yang menyenangkan. Tapi begitu Daniel sang ayah memberi tumpangan kepada anak tetangga, wajahnya berubah masam. Di samping Luna ada Zeyn yang tidur bersandar pada jendela mobil.

Zeyn yang selalu bangun kesiangan ditinggal Iwan berangkat kerja. Motor Zeyn juga tertinggal di basecamp. Ingin naik bus, tapi kemungkinan besar lama sampai. Untung saja Daniel melintas dan mau memberinya tumpangan.

Mobil mulai mendekati kawasan sekolah. Daniel memberhentikannya di dekat gerbang. Setelah itu membuka kunci mobil agar kedua anak itu bisa keluar.

"Luna sekolah dulu ya, Pah. Assalamualaikum," kata Luna mencium punggung tangan Daniel. Ayahnya tersenyum sambil mengelus surai Luna lembut.

"Waalaikumsalam."

Keduanya turun dari mobil. Zeyn sudah sadar kalau dirinya sekarang berada di sekolah. Pemuda itu mencondongkan sedikit badannya ke arah Daniel yang ada di dalam mobil.

"Makasih ya, Om. Atas tumpangannya."

"Iya sama-sama. Oiya, sekalian Om mau minta tolong sama kamu buat arahin Luna ke kantor kepala sekolah," kata Daniel mulai mengendarai lagi. Zeyn mengangguk setuju, setelah itu berjalan lebih dulu memasuki kawasan sekolah.

Baru satu langkah memasuki gerbang sekolah. Bel berbunyi nyaring. Murid-murid yang sebelumnya berhamburan di halaman sekolah langsung lari terbirit-birit menuju kelas mereka. Kecuali Luna dan Zeyn.

"Ruang kepala sekolah di mana?" tanya Luna tanpa basa basi.

"Hm? Oh lo masuk lewat pintu utama. Terus jalan lurus. Pas nemu perempatan, belok ke kiri. Di koridor sana ada dua ruangan. Satu ruang guru, satu ruang kepala sekolah. Ada namanya," jawab Zeyn jelas namun agak cepat. Persis seperti komentator sepak bola.

"Makasih." Luna bergegas memasuki sekolah. Meninggalkan Zeyn yang masih santai. Padahal bel masuk sudah berbunyi.

Langkah Luna saat memasuki lorong sekolah berhenti. Ada satu yang Zeyn lupa beritahu. Di sini ada dua perempatan, satu pertigaan. Lantas Luna harus memilih perempatan yang mana?

"Gue coba yang pertama aja kali ya. Kalo salah tinggal jalan lagi," kata Luna bermonolog. Dia langsung berjalan ke kiri pada perempatan yang pertama. Namun belum jauh dia berjalan, seseorang menarik tas Luna.

Tarikan yang kuat membuat Luna mundur ke belakang. Punggungnya menabrak dada seseorang tanpa sengaja. Kepala Luna mendongak ke atas, melihat sang pelaku yang lebih tinggi.

"Gue lupa bilang kalo ada dua perempatan. Sementara lo harus masuk ke perempatan yang kedua," ujar orang itu memandang lurus ke depan tanpa minat. Masih dengan mimik wajah yang sama saat Luna melihatnya pagi tadi. Malas dan menahan kantuk.

"Makanya kalo sekolah jangan sambil tidur!" ucap Luna kesal. Dia melepaskan tangan Zeyn dari tasnya secara paksa, setelah itu bergegas mencari ruang kepala sekolah.

Zeyn masih diam di tempat. Melihat punggung Luna mulai tertutup tembok koridor. Merasa tak ada yang perlu dilakukan, Zeyn pergi menuju kelasnya yang ada di lantai kedua.

Entah berapa menit Zeyn terlambat. Yang pasti guru sudah memulai jam pelajaran sebelum dia masuk ke kelas. Kini Zeyn memperhatikan guru dari balik tembok. Mencari kesempatan untuk memasuki kelas tanpa ketahuan terlambat.

Candra BerlinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang