2

91 1 0
                                    

[Athaya]

Aku bangun dengan mata sembab, penglihatanku memudar, mengerjap beberapa kali berharap fokusku kembali pada kerjapan ketiga. Namun nihil, pandangan ini semakin kabur. Kutumpukan wajah pada tangan yang terlipat. Mengingat kejadian semalam membuat hatiku terenyuh.

Waktu berganti dan manusia berubah.

Ya, dia berubah.  Aku yang masih sama. Masih percaya bahwa sebenarnya dia mencintaiku. Nyatanya, tidak.

"Ta!" panggilan terdengar bersamaan dengan ketukan pada pintu cokelat itu.

Aku bergegas bangkit dan menyibukkan diri dengan membuka koper yang belum kusentuh sama sekali.

Pintu terdorong menampilkan Bunda dengan senyum sumringah.

"Gimana tidurnya, nyenyak?" Aku mengangguk sedangkan Bunda masih berdiri di ambang pintu.

"Sekarang kamu cuci muka dulu ya, habis ini kita jogging. Ayah sama Bima udah nunggu di bawah. Jangan lama-lama ya, Ta! Takut ada yang ngambek nggak jelas," ucap Bunda terkekeh geli mengingat gerutuan anak semata wayangnya.

"Bun ... kalau Ata nggak ikut boleh nggak?" tanyaku ragu. Jujur aku tak sanggup bertemu dengannya secepat ini.

"Nggak boleh. Habis ini kita mau makan bareng, sambutan kecil-kecilan buat kamu."

"Udah sekarang kamu bersih-bersih dulu ya. Bunda tunggu di bawah!"

Pintu tertutup dengan sempurna, meninggalkan aku yang termangu tak terarah. Aku tidak akan pernah bisa menghindarinya, sampai kapan pun tak akan pernah bisa bila aku masih tinggal satu atap. Kuhela napas perlahan sebelum tanganku menarik jaket biru dongker dari tumpukkan terbawah. Kakiku bergerak menuju kamar mandi di sudut ruangan, namun terhenti beberapa langkah sebelum mencapai pembatas ruangan.

Apa aku boleh pakai kamar mandi ini? tanyaku menimbang. 

Aku tidak mungkin keluar dan memakai kamar mandi bawah, semua orang akan bertanya mengapa aku tidak menggunakan yang ada di dalam, maka kulanjutkan langkah dan mendorong pembatas ruang. Aku terdiam, mataku bergerak memandangi wastafel putih bersih dengan dinding bernuasa biru laut mendominasi di depan sana. Terdapat bathtup di belakang pintu kaca yang berwarna senada. Di sisi kiriku Walking closet masih terlihat kosong belum terpakai sama sekali. Bunga di sudut ruangan –yang kuyakini ide Syila- menambah apik ruangan ini.

Bahkan kalian sudah mempersiapkan sejauh ini, ucapku getir.

Tidak mau membuang waktu terlalu lama, kuputuskan untuk segera membersihkan diri.

***

Aku turun sepuluh menit kemudian. Ayah duduk berdampingan dengan Bunda, sedangkan anak semata wayangnya dihadapan mereka. Aku melangkah menghampiri, belum sempat aku menyapa, Ayah sudah berdiri menyambut kedatanganku.

"Ta! Lama banget sih mandinya, padahal Ayah udah kangen banget sama kamu." Lelaki paruh baya itu sudah merengkuhku dalam pelukan. Mengusap rambutku dengan sayang.

"Anak gadis Ayah kemana aja selama ini? Lupa kalau dua orangtua ini butuh kabar?" protesnya yang kujawab dengan cengiran lebar.

"Hmm ..." dehaman seseorang menghentikan pertanyaan yang seharusnya terlontar.

"Udah kangen-kangenannya, dilanjut nanti. Sekarang udah siang nih, keburu panas!"

Bunda menimpali, "Iya dilanjut nanti saja, Yah. Keburu siang, nanti ada yang marah-marah lagi." Mata itu melirik si empunya dehaman.

Titik Temu: Kembali MemulaiWhere stories live. Discover now