3

73 2 0
                                    

[Bima]

Nyatanya tidak pernah ada yang benar-benar hilang dalam ingatan, meski sudah mati-matian melupakan. Berdiri gagah berani, berteriak dalam sunyi. Tetapi ketika otak terusik dengan hal yang disebut kenangan. Hidup kembali patah arang.

Kenangan dan ingatan bagiku adalah bumerang. Kulempar jauh tak teraih, namun tanpa kesiapan ia kembali menghampiri. Seakan ia benar-benar pergi meninggalkan, ternyata ia hanya tersesat dan menunggu angin membawanya pulang.

Pagi ini aku mengambil tempat di sisi kanan Bunda, sedangkan Ayah duduk di bangku tonjolan. Meja makan yang kami tempati terdiri dari lima kursi, satu sebagai tonjolan dan dua pasang saling berhadapan. Mbak Yun datang membawa tumis kangkung dengan uap mengepul di udara khas baru diangkat dari penggorengan, menyunggingkan senyum ala kadarnya. Entah mengapa Bunda bisa betah memperkerjakan wanita yang jauh dari kata ramah. Mungkin karena mbak Yun tidak pernah membantah dan tidak banyak tingkah. Mungkin ...

Tak lama berselang Ata datang dengan ransel di bahunya. Kulirik sekilas, dia mengambil tempat di hadapan Bunda. Baguslah, tak mengganggu pandanganku.

"Hari ini sudah mulai kerja, Ta?" tanya Bunda menilik penampilan Ata lebih rapi dari biasanya.

"Iya, Bun." jawabnya dengan suara sengau khas habis kehujanan.

"Kamu sakit?" tembak Bunda langsung. Ata menggeleng mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Kontras dengan wajah kuyunya saat ini. Pucat, bahunya turun, dan ringisan kecil muncul ketika tubuhnya terlalu banyak membuat gerakan.

"Beneran? Kamu kelihatan pucat loh, Ta. Nggak usah masuk kerja dulu ya?"

"Ini hari pertama Ata kerja, Bun. Masa nggak masuk ... tapi beneran deh, Ata nggakpapa. Palingan kena flu," ucapnya halus menolak usulan Bunda.

"Yaudah ... tapi kamu harus diantar Bima." Bunda bertitah.

Sudah kuduga. Ujung-ujungnya aku juga yang kena.

Ata memandangku takut-takut. "Nggak usah, Bun. Ata bisa naik bus. Lagian kami beda arah. Kasihan Bima kalau harus bolak-balik."

"Dia nggak akan keberatan. Udah sekarang makan habis itu minum obat." Dia menurut dan mulai menekuri makanan di piringnya. Namun sesekali melirik takut ke arahku yang kubalas dengan tatapan dingin.

Kaca mobil di sisi kiri setengah terbuka, Bunda berlari menghampiri dengan kotak berisi makanan di tangan.

"Buat makan siang. Jangan lupa minum obatnya ya," Ata mengangguk lemah sembari tersenyum.

"Bun, bisa kesiangan nih kalau Bunda ngobrol terus sama Ata." eluhku kesal saat Bunda kembali mengingatkan apa yang harus dilakukan Ata di tempat kerjanya nanti.

"Iya ... iya. Nggak sabaran deh. Yaudah hati-hati ya!"

Mobil melaju meninggalkan rumah. Memasuki jalanan kompleks yang terlihat sedikit ramai dari biasanya. Ata masih diam seperti beberapa menit lalu saat memasuki mobil. Kepalanya ditumpukan pada ujung sandaran yang berbatasan langsung dengan pintu. Kadang tangannya bergerak memijat pelipis atau bergerak memijat tulang hidung.

Jalan utama mulai terlihat beberapa meter di depan. Karena tidak tahu kemana harus mengantarnya, aku memilih untuk bertanya.

"Kemana nih?" tanyaku singkat.

"Gue turun di halte aja, Bim." Jawabnya tak kalah singkat.

Aku mengerutkan dahi. Seperti bisa membaca apa yang ada di pikiranku dia menjelaskan.

Titik Temu: Kembali MemulaiWhere stories live. Discover now