6

63 2 0
                                    

[Athaya]

Duduk berdua dan terjebak dalam ruang sempit selama berjam-jam bersama Bima adalah hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Ditambah dengan kecanggungan. Kaku dan dingin. Rahangnya terkatup sempurna setelah pembicaraan beberapa jam lalu berakhir dengan kalimat tanya yang terabaikan.

Terlalu sulit untuk berdamai dengannya. Karena kami saling berkaitan. Sehingga jika salah satunya ingin mengikhlaskan, tetapi satu lainnya enggan, maka akan menyulitkan. Sikap Bima sangat membingungkan, seolah tak rela melepas, tapi tak pernah sedikitpun memintaku untuk tetap tinggal. 

Aku tak tahu bagaimana harus bersikap. Jelas, kami tidak akan seperti dulu lagi. Mengingat kedudukanku yang sudah tergantikan dan keadaan yang sudah berubah jauh dari apa yang kuharapkan. Sekedar membayangkan Bima duduk di sampingku, bertukar cerita lalu saling melempar tawa pun aku tak cukup nyali, karena hubungan kami tidak sebaik itu.

Kumiringkan badan ke arah jalan, sedikit meringkuk dengan kaki kanan bertumpu di kaki lainnya. Mataku menangkap cahaya yang bertransformasi menjadi kunang-kunang. Kerlip yang menghilang di detik ketiga lalu digantikan gelap yang suram hingga detik kelima. Seharusnya pemandangan indah ini menyenangkan mengingat jarang sekali kujumpai, tetapi semua ini percuma. Karena sejak satu jam yang lalu perutku mulai kram sebab haid. Nyeri menjalar dari pinggang hingga tulang belakang. Menyulitkanku untuk sekadar membuat gerakan. Kusandarkan kepala merapat di jendela kaca, memejamkan mata dan berharap sakit segera mereda.

Sudah dua jam perjalanan, Bima belum sama sekali membuka suara. Aku semakin meringkuk bahkan kedua kakiku sudah dinaikan. Bulir bening sudah melesak keluar, kugigit bibir bawahku kuat-kuat menahan isak agar tidak lolos. Badanku luluh lantak, nyeri akibat kram ditambah sekujur tubuh yang pegal semakin memperkeruh keadaan. Aku ingin menangis, tapi tidak ingin Bima mendengarnya. 

Mataku memejam dengan kedua tangan memeluk diri sendiri. Berharap rasa sakit ini berkurang. Aku tidak dapat menahannya lagi, isakan lolos sedetik kemudian. Kubungkan mulut dengan satu tanganku dan tangan yang lain bergerak menghapus aliran yang sedetik kemudia sudah kembali membasahi pipi.

Kurasakan gerakan roda melambat hingga akhirnya tak bergerak sama sekali.

"Ta," Bima menepuk bahuku pelan. Aku bergeming, tak ingin menatap wajahnya.

"Kenapa?"

Aku menggeleng.

Ditariknya tubuhku hingga mata kami bertemu. "Kenapa?" ulangnya.

Aku menggeleng dengan kabut semakin menutupi penglihatanku.

"Ta, jangan buat gue takut. Lo kenapa?"

Aku tetap bungkam menahan agar isakku tak terdengar pilu. Namun tak cukup efektif, sebaliknya napasku terengah, mendadak sesak.

"Ta, tolong bilang lo kenapa?" tanyanya terdengar panik.

Isakku lolos. Aku sesenggukan, kurasakan udara di sekitarku semakin menipis dan nyeri yang berpusat di perutku semakin menjadi.

"Ta ..."

"Lo kenapa?" tangannya mengusap keringat di sekitar pelipisku lalu beralih menangkup wajahku, "Jawab, Ta. Jangan buat gue takut!"

"Sakit, Bim," aku memejam, mengencangkan cengkraman yang kupikir bisa meringankan sakit yang mendera.

"Apanya yang sakit?"

"Perut gue sakit,"

"Kenapa tiba-tiba sakit? Lo belum makan?"

Titik Temu: Kembali MemulaiWhere stories live. Discover now