1

237 5 0
                                    

[Bima]

Kurenggangkan tangan ke atas, mengurangi pegal akibat menunduk selama lima jam penuh. Gila! Gue nggak pernah kerja begini sebelumnya. Mending kerja lapangan daripada harus berjibaku dengan layar yang memuakkan ini, gerutuku pelan.

Mata ini terpaku menatap langit melalui jendela di hadapanku. Hitam. Gelap tanpa bintang. Kulirik jam di pergelangan tangan, jarum bergerak menunjukkan pukul 21.00. Segera kusimpan file yang tengah kukerjakan, mematikan laptop dan memasukkannya pada ransel yang berada di dekat kaki meja. Tubuh ini bangkit dengan menyandang ransel di bahu, melangkah keluar meninggalkan ruangan yang memuakkan.

I need take a breath!

Tanpa kusadari kaki ini melangkah menuju sebuah tempat yang hampir setengah dekade ini kuhindari. Dua anak tangga sekaligus kunaiki, bergerak tak sabar. Hingga pintu besi yang mulai berkarat terlihat jelas di sana. Deritan terdengar, sebab dorongan tanganku yang tergesa, memberikan intro merdu perjumpaanku kembali dengannya. Belaian angin malam menerpa separuh wajah ini, netraku bergerak memindai.

Tempat ini masih sama. Kita yang berubah.

Jejeran pot bunga di pembatas dinding tergeletak tak beraturan. Sebagiannya pecah membentuk kepingan berserakan. Beberapa diantaranya masih ditempat yang sama, seperti terakhir kali. Lubang itu tak lagi berisi tanah, air mengisi setengah bagian dengan jentik nyamuk sebagai ornamen.

"Gue suka lo, Bim." Alam bawah sadarku kembali memutar percakapan kala itu.

"Ta, Syila itu sahabat lo. Dan gue pacarnya."

"Gue nggak nyuruh lo buat putusin Syila. Gue cuma mau lo tahu perasaan gue. Selama ini, gue nggak baik-baik aja, Bim. Gue kesakitan setiap lihat lo sama dia."

Sosok itu menghela napas sebelum melanjutkan, "Gue cuma mau bilang gue sayang sama lo,"

"Kalau lo sayang sama gue, harusnya nggak kaya gini!" teriakku frustasi.

"Lo tahu kan gue sayang banget sama Syila. Dan lo tahu, selama ini gue cuma anggap lo sebagai sahabat. Nggak lebih! Apa selama ini gue nggak cukup baik sebagai sahabat lo?"

"Lo terlalu baik, Bim. Untuk sekedar jadi sahabat gue." lirihnya pedih.

"Gue nggak bisa, Ta. Gue nggak bisa,"

Hembusan angin menerpa, membisikan sebaris kepedihan. Kami sama-sama bungkam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga satu kalimat lolos dari bibirku.

"Kalau lo beneran sayang sama gue, Ta. Tinggalin gue sendiri!"

Dia tetap bergeming, bahunya bergetar, isaknya lirih, namun cukup terdengar memilukan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak melangkah dan mendekapnya. Dia sudah terlalu lelah berteman dengan lara. Jika bukan dalam keadaan seperti ini, aku sudah pasti berlari, merengkuhnya dan membisikkan kalimat menenangkan. Tapi, kali ini aku tidak bisa melakukannya.

Gue nggak bisa, Ta. Maafin gue.

Dia melangkah pergi, hilang dan tak kembali.

***

[Athaya]

Alunan lagu Marron 5 masih terlantun sempurna dari ipod yang berada di saku jaket. Terlihat jelas dari balik kaca, debu berterbangan memenuhi udara, suara sahutan klakson kendaraan terdengar samar ketika lampu lalu lintas berganti warna. Pedagang di trotoar turut memeriahkan keriuhan, dipadu dengan peluh yang mengalir dari pelipisnya mereka menjajakan barang dagangan.

Titik Temu: Kembali MemulaiWhere stories live. Discover now