#05: Ego

4.6K 786 237
                                    

Kaia yang merasakan suasana kediaman kerabatnya ini sudah semakin tidak nyaman untuk ia tinggali tengah berusaha menghubungi omnya agar obrolan yang ia usulkan untuk dilaksanakan pada Sabtu nanti dipercepat menjadi malam ini. Setelah berdiskusi singkat di virtual, akhirnya Danu menyetujui usulan Kaia yang ingin mengobrol sesegera mungkin. Namun, entah mengapa, kepala rumah tangga itu sempat mengatakan bahwa dia dan istrinya takut Kaia marah besar dan ketika wanita itu tanya mengapa demikian, Danu hanya mengatakan nanti saat mereka akhirnya mengobrol nanti malam akan langsung mengerti apa yang mendasari ketakutan om dan tantenya itu.

Dari luar, Kaia mendengar suara mobil yang sangat familier di telinganya. Ya, suara mobil baru milik Karin alias anak tunggal kesayangan Danu dan Giandira. Cukup aneh bagi Kaia melihat omnya membelikan Karin mobil baru dengan metode cash karena belakangan ini ia melihat sendiri bahwa Danu dan Giandira tengah berhemat, malah sangat berhemat. Tidak ada satu pun kantung belanjaan dari merek ternama sejak sebulan yang lalu. Oh, mungkin mereka berhemat biar bisa beliin Karin mobil. Begitulah yang ada di pikiran wanita itu.

Di dalam kamarnya, ia menatap lurus pada buku yang dicoreti olehnya, di sana terdapat banyak hal yang ia catat mengenai karakter buatannya yang bernama Leon. Kaia mencatat sifat-sifat Leon yang ternyata betul apa kata editornya bahwa personality traits Leon dan Gloria sangatlah berbeda jumlahnya dan memang tokoh Leon seolah terasa asing. Semalaman kemarin setelah ia bercakap dengan editornya di telepon dirinya kemudian langsung mengeksekusi bagian itu karena dia memiliki beberapa ide untuk memperkaya karakteristik Leon.

Matanya beralih melihat ponselnya, menunggu pesan dari Danu yang kemungkinan besar sejenak lagi akan mengirimkannya pesan untuk turun ke lantai bawah dan mengobrol bersama mereka. Kaia tidak pernah memiliki pemikiran buruk mengenai Danu dan Giandira, dia bahkan merasa jikalau dia memang mendapat perlakuan yang kurang enak dari mereka, ia akan menerimanya karena jasa mereka pada Kaia tak ternilai harganya. Benar saja, tak lama dari saat pandangannya terpaku pada ponsel, Danu mengiriminya pesan untuk turun ke bawah.

Kaia turun ke bawah dengan sedikit perasaan resah karena Danu mengatakan hal yang jelas-jelas membuatnya kepikiran. Maksudnya, mereka ingin mengatakan apa hingga takut dirinya marah besar? Memangnya Kaia pernah marah pada mereka? Sekalipun marah, Kaia tidak pernah menunjukkan hal itu pada orang-orang yang ia hormati dan ia hargai jasa-jasanya. Secara singkat nan gamblang, rasanya aneh ketika mereka mengatakan takut dirinya marah besar dengan topik pembicaraan yang akan mereka bicarakan.

Dari anak tangga terakhir, Kaia sudah dapat melihat jelas di sana ada Giandira dan Danu tengah duduk bersebrangan dan menyisakan satu sofa panjang yang kosong. Ia tebak, sofa itu dikosongkan untuk ia duduki. Baiklah, sekarang Kaia lagi-lagi merasakan rasa resah yang sempat ia abaikan.

"Duduk situ, Kai," suruh Danu.

Kaia memilih tak banyak bicara lalu berjalan untuk duduk di sofa yang terletak di antara sofa tunggal yang diduduki oleh Danu dan Giandira. "Gimana, Om?" tanyanya tepat saat ia mendudukkan dirinya di sofa.

"Kamu nggak bakalan capek beres-beres sendirian di rumahmu?" tanya Giandira yang membuat kening Danu berkerut.

Kaia tersenyum karena pertanyaan itu rupanya berhasil menghapuskan rasa resahnya yang tak jelas tadi. "Nggak, dong! Hehe. Kalian khawatir karena nggak bisa anter Kai? Nggak apa-apa nanti Kai sisain ruangan buat dibersihin deh. Hahaha," ia menjawab sembari bercanda diiringi tawa renyah.

Danu dan Giandira tertawa sumbang mendengarkan bercandaan Kaia yang ternyata sudah sangat berambisi dan terlihat amat siap untuk kembali ke rumah peninggalan orangtuanya yang kini secara resmi di bawah regulasi hukum adalah hak miliknya setelah sekian lama ia menyandang status belum cukup dewasa untuk memegang kuasa hukum.

MaristeiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang