Kepingan Kedelapan

420 62 14
                                    

WARNING!

Chapter ini mengandung adegan pembunuhan psikopat, yang mungkin bisa memicu kengerian, dan... reaksi-reaksi lain yang tak terduga. Kuhimbau bacalah cerita ini saat tidak melakukan apa-apa, jangan baca sambil makan!

.

.

"Kau percaya padaku?"

Luhan mengerutkan kening karena pertanyaan Sehun yang berbeda dari topik awal pagi ini. Ia berhenti menuang air putih pada gelas kosongnya,  memandang Sehun sejenak‚ lalu mengangguk. "Ya‚ aku percaya padamu. Kenapa?"

Sehun menggeleng kecil. "Aku takut kau kenapa-kenapa setelah ini." katanya.

"Aku akan baik-baik saja." Luhan meyakinkan. Namun Sehun menggeleng lagi.

"Kau yang akan berada dalam bahaya karena aku." jelas Sehun. Kerutan di kening Luhan semakin dalam mendengarnya sementara ia sibuk meneguk air putih pagi itu. "Aku memang tak tahu pasti. Tapi paman Kim-mu itu bisa membuatmu dalam bahaya."

Lantas Luhan meletakkan gelasnya yang sudah kosong pada meja dengan kerasIa tidak suka Sehun membahas hal ini. Luhan sudah memutuskan untuk tak percaya pada apa yang dikatakan Sehun soal pamannya. Paman Kim-nya adalah orang yang baik dan mampu menjaga kedua orang tuanya saat Luhan berada di Seoul. Pria itu tak akan melakukan hal-hal seperti membantai keluarga Sehun malam itu. Luhan tak ingin percaya dan tak akan percaya jika memang itu benar. Jadi Luhan hanya membalas‚ "Dia pamanku yang baik‚ Sehun. Aku akan baik-baik saja jika bersamanya."

"Kau tidak tahu‚ Luhan." Sehun kali ini terlihat jengah. Ia menatap Luhan serius namun Luhan justru memalingkan pandangan. Sehun menghela napas. "Aku yang mengalami‚ bukan kau. Jadi aku tahu bagaimana pamanmu membunuh keluarga―"

"Hentikan omong kosong itu." sela Luhan cepat. Perempuan itu melepaskan diri dari pelukan Sehun kemudian. "Ini masih pagi. Aku tak ingin bertengkar hanya karena hal sepele. Bersihkan dirimu dan setelah ini ikut denganku. Mereka akan memilih memori mana yang harus dihapus dari ingatanmu." dan setelah itu Luhan turun dari tempat tidur dengan balutan kemejanya.

Sehun memandang punggung Luhan yang menghilang di balik pintu dan seketika kepalanya jadi pening. Astaga‚ perempuan itu membuatnya ketakutan sendiri. Entah bagaimana caranya agar Luhan menjadi percaya padanya‚ Sehun benar-benar tak tahu.

***

Baik Luhan maupun Sehun‚ mereka sama-sama tak ingin berniat untuk membuka percakapan setelah pertengkaran kecil pagi tadi. Keduanya saling diam‚ hanya Luhan yang berbicara singkat sebelum mereka berangkat ke tempat kerja Luhan.

"Selamat pagi."

Luhan tersenyum membalas sapaan beberapa orang yang ia lewati dengan Sehun di sampingnya. Sementara itu‚ Sehun tetap diam‚ sesekali melirik senyum Luhan yang mampu menenangkan hati.

Sebenarnya Sehun merasa gugup bukan main. Bagaimana tidak? Jika orang-orang seperti Luhan memilah memorinya yang pantas untuk dihapus‚ itu berarti waktunya bersama Luhan tinggal sedikit. Apalagi sekarang mereka sedang saling diam karena masalah kecil tadi pagi. Rasanya Sehun tersiksa.

Sehun mengekori Luhan yang masuk ke dalam lift. Hanya ada mereka berdua di sana. Hening pula suasananya. Luhan bersedekap menunggu terbukanya pintu lift. Sehun juga masih setia melirik-lirik Luhan secara diam-diam. Begitu pintu lift terbuka‚ yang terlihat adalah ruangan bernuansa putih dan luas. Beberapa orang berlalu-lalang dan menyapa Luhan kembali. Sehun tetap mengikuti‚ dan berhenti setelah Luhan masuk ke dalam sebuah ruangan berukuran 12 x 12 meter dengan dua orang di dalamnya.

Lucky OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang