Pejuang deadline 😁
Naskah ini dipublikasikan guna mengikuti tantangan 300 hari menulis oleh @300days_challenge
Afwan Yaa Alfathunnisa
Chapter : 10 Memayu Hayuning Bawono
POV : Almeera Hasna Alfathunnisa
Word : 1800+Karya saya tidak bagus-bagus sangat (pikir saya), tapi saya harap panjenengan (dengan saya sebagai saksi) adalah sebagus-bagusnya seseorang yang bisa menghargai jerih payah karya orang lain..
Mari bantu saya sisir typo ✍️
🌹🌹🌹
“Aku ingin mendengar segala ceritamu, mimpimu, keluh kesahmu. Apapun itu, aku ingin mendengarkannya selalu”
🌹🌹🌹
Sudah tiga hari Abi dirawat di sini. Ummi dan Mas Zahran tidak pernah pulang. Sedangkan aku dan Kang Arul yang menyempatkan diri bolak-balik dari rumah sakit ke pondok, kami mengecek keadaan ndalem dan jadwal pondok. Keadaan Abi semakin membaik, mungkin lusa baru pulang. Kami menyembunyikan fakta tentang Abi yang gerah, takutnya jika ada orang yang tahu, maka mereka akan menjenguk Abi, dan hal itu akan membuat jatah istirahat Abi berkurang.
Abi marah pada kami bertiga hari ini, karena sudah dua hari tidak mengikuti kegiatan bimbel. Abi adalah seseorang yang telaten, tentu saja beliau marah, beliau merasa kami menyia-nyiakan kesempatan. Akhirnya kami keluar dari ruang inap Abi dan pulang ke pondok.
“Rul, sampeyan sama Nissa naik motor saja. Mobilnya Abi biarkan di sini dulu. Yang naik tossa biar saya saja. Kasihan kalau Nissa yang naik tossa, nanti diculik orang malah menambahi masalah,” ucap Mas Zahran ketika kami sampai di parkiran.
“Ndeh … kenapa bukan saya saja, Mas, yang naik tossa?” tanya Kang Arul.
“Saya lagi males nyetir, ngantuk. Apalagi ngebonceng Nissa, sing rewele pol,” ucap Mas Zahran ngelantur. Pengen ku tabok ini orang, sembarangan saja kalau bicara.
Tapi ekspresi Mas Zahran terlihat benar-benar lesu. Maklum ia yang menunggui Abi selama di sini nyaris selama tiga kali dua puluh empat jam. Belum lagi dia pasti memikirkan keadaan Mbak Zahira yang beberapa hari lalu ia buat pingsan. Ia kan belum minta maaf sampai sekarang, aku kenal karakter Mas Zahran, ia pasti dipusingkan oleh masalah itu juga.
Mas Zahran akhirnya pergi ke jalan raya depan untuk menanti tossa, meninggalkanku dan Kang Arul di parkiran. Kang Arul memberikan helm kepadaku, karena ia mengenakan peci jadi ia wegah mengenakan helm, toh helmnya juga cuma ada satu. Ku harap tidak ada patroli yang akan menangkap kami. Kalau ada ya ndak apa-apa sih, hitung-hitung buat kenang-kenangan sama Kang Arul. Ndeh ... aku ngomong apa, tho? Kok malah ngelantur ingin jadi korban razia polisi. Naudzubillah.
Sebelum berangkat, aku meminta tolong ke Kang Arul untuk memasukkan mukena yang ku bawa ke dalam jok motor matik yang hendak kami kendarai. Ia bertanya mengapa aku harus membawa mukena? Sedangkan di masjid puskesmas pasti ada banyak.
“Ummi berpesan agar selama berpergian saya membawa mukena pribadi, Kang. Sebab menurut Ummi, nanti kalau di masjid kita mendapatkan mukena yang belum pernah kita pakai, kan terkadang kita kurang nyaman. Shalat kita itu sudah jarang sekali khusyu’, malah ditambah kurang khusyu’ lagi dengan mukena yang kurang nyaman. Apalagi kalau mukenanya jarang dicuci sama pengurus masjid, wis penguk, masih ditambah lagi gatal terkadang,” jelasku panjang sembari memasukkan mukena ke dalam jok yang sudah ia bukakan. Kang Arul kan laki-laki, mana paham dia tentang kenyamanan penggunaan mukena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afwan Yaa Alfathunnisa [End]
Romansa📢 [Rampung, Tamat, End] 📝 Belum Revisi ➡️ Cerita Pertama Blurb: Arul Haidar Al-Qousy. Pria frustasi yang membunuh dirinya sendiri secara perlahan dengan terus-terusan merokok dan meminum minuman bersoda. Sang Kakek yang tak tahan melihat kegilaan...