Kesempatan

23K 1.4K 19
                                    


"Sadar, Wina, sadar!" Anandiya merebut pisau mainan dari tangan Wina dan melemparnya penuh kesal. "Kalau memang mau bunuh diri, ya, lo niatkan yang bener, dong. Jangan nanggung, pakai pisau mainan segala."

"Kenapa lo dukung gue bunuh diri beneran, Yaya?" Wina masih menangisi patah hati pertamanya. "Lo mau gue nyayat diri? Berdarah? Kesakitan? Terus meninggal?"

"Ya, nggak apa-apa. Gue cuma menyayangkan kalau lo beneran lakuin hal itu. Ya ampun, Win. Cuma karena patah hati, lo punya pemikiran buat bunuh diri meskipun dengan pisau mainan. Ya, lo jangan bego, dong, sampai mau nyakitin diri sendiri. Apa nggak sayang?"

Wina menyusut air matanya dan merenungi kembali kelakuannya di rumah Anandiya. Devan mengantarkan Wina ke rumah Anandiya karena Wina belum berani menghadapi kekecewaan orang tuanya. Penjelasan Septian yang menyakitkan seperti kaset rusak, berputar terus-menerus diingatan Wina sehingga dia melakukan hal-hal gila.

Wina terisak kembali, rasa sakit itu datang lagi. "Jujur, gue kecewa banget sama Septian. Saking kecewanya, gue sampai nggak bisa nyebutin satu per satu. Banyak banget. Dia jadiin gue pelarian, dia nggak jujur mengenai mantannya, dia ... kecewain gue. Rasanya, nggak ada yang tersisa."

"Banyak," tukas Anandiya, "banyak yang tersisa. Wina, lo cuma kehilangan Septian. Masih banyak yang sayang lo selain Septian. Misalnya, keluarga lo. Mau nggak mau, gue juga harus ngaku kalau gue ... lumayan sayang sama lo. Pikirin orang-orang yang sayang sama lo sebelum lo nyakitin diri sendiri. Jangan sampai mereka sedih lihat keadaan lo yang kayak gini."

Wina kembali membaringkan badannya di tempat tidur Anandiya, memikirkan penuturan temannya. Memang benar, Wina hanya kehilangan Septian, satu orang yang kebetulan kemarin sempat mengisi hari-harinya. Tapi, mbok, yang namanya patah hati, tetep aja sakitnya to the bond!

Wina menangis lagi. Kesedihannya seperti tidak ada habisnya, berbeda dengan tisu milik Anandiya yang sudah habis satu gulung. Rasanya Wina mau jadi orang gila saja, supaya tidak sadar dan bebas melakukan hal apapun yang memuaskan hatinya.

"Yaya, gimana caranya ngatasin patah hati?" tanya Wina setelah sadar bahwa jadi orang gila bukanlah sebuah solusi. Mau bunuh diri juga, Wina takut. "Lo, kan, udah pengalaman ... sepuluh tahun patah hati sama Adrian, Satria Adrianta, lo masih inget, kan?"

Mendengar nama itu, Anandiya terdiam sejenak. Tiba-tiba, menelan saliva terasa begitu sulit baginya. Hatinya kembali berdesir memunculkan rasa perih, sakit, seperti tersayat. Anandiya nyaris goyah, ikut menangis dengan Wina, tetapi dia cepat-cepat memaki Wina sebagai pengalihan kesedihannya.

"Bener-bener berengsek lo, Win!"

Anandiya membalikan badannya membelakangi Wina, lalu menyusut air matanya yang tetap jatuh. Luka yang disebabkan Satria Adrianta sudah terlalu dalam sampai tidak bisa disembuhkan. Meskipun sembuh, pasti berbekas.

Anandiya mencoba menenangkan dirinya sebelum kembali menghadap ke arah Wina. Dia menghela napas sedalam-dalamnya dan mengeluarkannya perlahan.

"Terima takdir aja. Mungkin udah seharusnya gue begini: jatuh cinta, terus patah hati. Ya, sakit memang, menyiksa, bikin menderita, tapi jalanin aja. Lo percaya sama Tuhan, kan? Tuhan bakal ganti Septian sama seseorang yang lebih baik lagi. Tuhan nggak pernah bikin kecewa hamba-Nya. Yang perlu lo lakuin sekarang, tinggal bangkit. Udah cukup nangis-nangisnya. Ingat kata-kata gue ini, galau itu boleh, tapi jangan kelamaan. Selain buang-buang waktu, lo juga bakal menyesal. Misalkan nanti lo dapatin seseorang yang lebih baik dari Septian, lo bakal nyesel karena udah galauin Septian sampai nangis-nangis gini. Mana mau bunuh diri pakai pisau mainan lagi. Nggak normal lo!"

Just Wina Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang