Pandangan Pertama

66 4 0
                                    

Aku merapikan pakaian sambil mematut diri di depan cermin. Seragam putih biru yang aku kenakan membuat aku sangat percaya diri. Ya, sekarang aku bukan anak SD lagi tapi sudah SMP. Kalau SMP itu artinya sudah besar, sudah tidak boleh lagi menangis minta ikut kalau Ibu pergi ke pasar. Tidurnya juga harus sendiri, tidak sama Ibu lagi. Kalau berangkat sekolah pun harus sendiri, tidak diantar Ayah. Kata ibu menjelaskan

Aku mengangguk mengiyakan. Sebenarnya aku malah senang bisa berangkat sendiri ke sekolah. Karena nanti di perjalanan aku bisa bertemu dengan teman-teman. Apalagi kemaren kami sudah berjanji untuk saling menunggu.

Aku berpamitan dengan Ibu dan Ayah. "Hati-hati di jalan ya Nak, belajar nya yang rajin" pesan Ibu. Sedikit berlari aku meninggalkan mereka. Karena aku yakin Sinta sudah menungguku di ujung jalan.

Kami berjalan beriringan, menikmati pagi yang berembun. Cahaya matahari sepertinya masih malu-malu menampakkan diri.

Jalan semakin ramai oleh anak-anak yang pergi sekolah. Perjalanan kesekolah terasa lebih menyenangkan. Karena bisa bercerita dan bersenda gurau. Tak terasa kami sudah sampai di sekolah.

Kami memasuki gerbang, aku melangkah menuju kelasku yang terletak di bagian belakang. Kelas sudah tampak ramai. Aku menyapa mereka sambil meletakkan tas di meja. Kemudian bergabung dengan teman-teman yang lain di depan kelas. Ternyata mereka sedang membicarakan jadwal pelajaran. Katanya hari ini ada pelajaran Matematika. Entah mengapa kalau sudah membicarakan Matematika aku mulai tegang. Karena dari SD aku sangat tidak menyukai pelajaran yang satu itu.

Bel masuk berbunyi, kamipun melangkah memasuki ruang kelas. Semua siswa duduk manis di mejanya masing-masing. Tidak lama muncul sesosok laki-laki berpakaian rapi. Masih terlihat sangat muda. Ketua kelas memberi komando untuk memberi hormat dan dilanjutkan dengan berdoa.

Rupanya laki-laki yang berdiri di depan kelas itu guru yang akan mengajar kami Matematika. Entah kenapa aku suka sekali melihatnya. Wajahnya yang bersih, rambutnya yang lurus. Senyumnya sungguh memikat hati. Aku terus memandanginya dengan takjub, tanpa kusadari ternyata dia juga memandangiku. Mata kami saling tatap. Jantungku berdetak dengan kencang. Oalah, kenapa Ibu tidak bilang kalau anak SMP itu hatinya bisa berdetak kencang kalau di tatap laki-laki tampan. Apa Ibu lupa ya?.

RINDU UNTUK PAK GURUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang