Bel pulang baru saja berbunyi. Teman-teman berlarian keluar kelas. Sementara aku masih sibuk dengan buku-buku yang berserakan di mejaku. Satu persatu kumasukkan ke dalam tas ransel. Tanganku meraba kedalam laci meja. Memastikan kalau tidak ada yang tertinggal. Selesai, tidak ada yang tertinggal. Tas ransel sudah berada di punggunggku. Kulangkahkan kaki keluar kelas. Berjalan santai melewati lorong sekolah.
Aku ingat janjiku dengan Pak Fadhil. Ku coba cari sosok itu di depan kantor. Namun aku tidak menemukannya. Sementara sekolah mulai sepi oleh anak-anak. Hanya satu dua orang yang masih terlihat. Kuturunkan ranselku yang mulai terasa berat. Kuhanya bisa bersandar di dinding sekolah sambil menunggu Pak Fadhil datang.
" Zahra" telingaku menangkap suara dari kejauhan. Kulihat Pak Fadhil melangkah dengan tergesa kearahku. " sudah lama menunggu?" tanyanya dengan nafas terengah.
" Belum lama kok Pak, oh ya Bapak mau minta bantu apa sama Zahra?" aku mulai tidak sabar.
" Sebentar" ujarnya sambil memegang bahuku. Lalu melangkah pergi. Aku lihat beliau masuk keruangan guru. Tidak lama keluar lagi sambil membawa tas.
"Ayo" tangannya kembali memegang bahuku sebagai tanda kalau aku harus mengikutinya. Kami mulai meninggalkan sekolah. Aku melangkah pelan di belakang Pak Fadhil. Cuaca yang tidak begitu panas membuat aku benar-benar menikmati perjalanan ini bersamanya. Kuamati tubuh tegap itu. Rambutnya yang lurus terlihat bergoyang-goyang mengikuti gerak langkahnya yang panjang. Sesekali langkah kecilku harus berlari menyamai nya.
Melihat hal itu Pak Fadhil memperlambat langkahnya. Dia melirik ke arahku. Aku balas meliriknya. Aku berharap dia akan mengucapkan sesuatu. Namun beberapa menit berlalu tak satupun kata-kata yang keluar. Kuikuti terus langkahnya. Sampai dia berhenti tepat di depan kontrakannya.
Pak Fadhil mengambil kunci rumah dari dalam sakunya. Begitu pintu terbuka beliau mempersilahkan aku masuk. Begitu masuk aku langsung terkesan dengan suasana rumah yang sangat rapi. Walau kecil tapi sangat nyaman. Kemudian mataku tertuju pada sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding. Foto Pak Fadhil yang diapit oleh dua orang perempuan. Beliau terlihat gagah dengan baju wisuda lengkap dengan toganya.
" Ini siapa Pak?" aku menunjuk perempuan yang memakai baju merah dengan jilbab senada. Walau sudah tua tapi kecantikannya masih terlihat jelas.
" Itu ibu saya" jawabnya sambil tersenyum. Matanya memandang lekat wajah perempuan yang ada di foto itu. " Dan yang ini adik perempuan saya" tangannya menunjuk ke perempuan di sebelahnya lagi.
" Kenapa hanya bertiga Pak?, apa..." pertanyaanku terhenti ketika matanya begitu lekat menatapku.
" Ayah sudah meninggal sejak saya berumur 1 tahun. Kemudian Ibu menikah lagi. Tapi kemudian bercerai setelah adik saya lahir" aku tertegun dengan apa yang dikatakatannya barusan. Matanya tidak sekalipun beralih menantap ku. Bahkan sekarang aku merasakan nafasnya menyapu wajahku. Aku menunduk. Merasa bersalah dengan pertanyaanku tadi.
" Maafkan Zahra Pak, Zahra tidak bermaksud.."
"Tidak apa-apa, saya senang kamu bertanya seperti itu. Jadi saya ada alasan untuk menceritakannya" kembali dia memotong perkataanku. Tapi kali ini dengan senyum dibibirnya. Kemudian mengajakku untuk duduk.
" Kamu mau minum apa?" tanyanya sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Sikapnya begitu santai.
" Air putih saja Pak" Pak fadhil langsung berdiri. Namun aku cegah. Karena aku merasa segan kalau harus dilayani oleh guru ku sendiri.
" Biar Zahra ambil sendiri Pak. Dapurnya disana? Tanyaku sambil menunjuk ke pintu belakang. diikuti dengan anggukan oleh laki-laki itu. Tidak beda dengan ruangan di depan. Dapur pun terlihat bersih. Gelas dan piring tersusun dengan rapi di sebuah rak. Sepertinya Pak Fadhil seorang yang suka dengan kebersihan. Pantas saja beliau juga selalu terlihat rapi dan wangi.
Aku keluar dengan membawa dua gelas berisi air. Satu gelas aku berikan kepada guruku itu. setelah meneguk separoh isinya aku kembali bertanya
" Pak, sebenarnya Zahra bisa bantu apa?" seperti tersentak beliau kemudian memperbaiki duduknya. Wajahnya berubah serius.
" Begini Zahra, kemaren Bapak di beri tugas oleh Kepala Sekolah. Membimbing satu orang siswa untuk di ikutkan dalam lomba Matematika. Ada beberapa calon dari guru lain. Tapi Bapak lebih senang kalau kamu yang terpilih. Jadi besok rencananya akan diadakan seleksi. Makanya sekarang Bapak ingin kamu berlatih dengan beberapa soal ini" Pak Fadhil menyodorkan sebuah kertas berisikan soal-soal Matematika.
" Coba kamu kerjakan soal-soal itu"
" Sekarang Pak?".
" Iya, sekarang!".
" Tapi Pak, Zahra belum Izin sama Ibu".
" Jangan khawatir, saya sudah Izin tadi sama Ayah kamu!"
"Lho kok bisa, kapan Bapak ketemu Ayah?"
"Tadi pagi, waktu saya lari pagi, saya ketemu ayah kamu. Katanya beliau pergi menengok nenekmu yang sedang sakit. Nah, sekalian saja saya minta izin untuk kegiatan ini. Dan dia juga mengizinkan" jelasnya. Aku memandang heran kepada Pak Fadhil. Kenapa tidak dari tadi beliau mengatakannya. Kalau aku tau seperti itu kan aku tidak perlu khawatir. Tapi orang yang aku pandangi malah berlagak cuek.
"Tidak ada yang perlu di khawatirkan bukan?. Ayo ..sekarang kerjakan!" katanya sambil menunjuk kertas yang ada ditanganku. Aku menuruti apa yang di perintahkan oleh pemilik wajah tampan itu. Beberapa waktu lamanya aku sibuk dengan soal-soal itu. Sesekali aku memergoki Pak Fadhil menatapku dengan tatapan yang sulit aku mengerti. Namun setiap kali mata kami beradu, hatiku terasa hanyut dalam aliran sungai yang begitu jernih. Nyaman dan menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU UNTUK PAK GURU
Teen FictionZahra merupakan anak semata wayang. Gadis muda belia yang jatuh cinta kepada Guru Matematika di sekolahnya. Matanya yang indah dengan bulu mata yang lentik. membuat Zahra banyak disukai kaum pria. Namun cintanya yang besar kepada Fadhil. Membuat dia...