MARET 2016

58 5 0
                                    

          Di depan gedung Jurusan Sastra, Nila melepaskan kacamatanya setelah seharian di kampus memacari labtop Compaq TC1000-nya. Labtop tersebut merupakan peninggalan kakeknya yang adalah seorang penulis dan itu merupakan labtop hybrid 2-in-1. Selain bisa diputar-putar keyboard-nya (convertible), bisa juga dilepas seperti Surface (detachable).

Sejak kecil, Nila sudah mencintai dunia Sastra. Betapa tidak, hampir setiap hari ia didongengkan oleh mamanya. Sebelum akhirnya ayah dan ibunya berpindah ke Singapura untuk urusan bisnis.
Nila tinggal di rumah bersama pembantunya. Mak Iyem namanya.
Tidak hanya menjadi pembantu, Mak Iyem sudah seperti keluarganya sendiri.

" Aduuuh...sesusah ini, yah ! Seminggu lagi harus kumpul dan tugasku masih belum apa-apa. "
Nila menggerutu seolah-olah ada yang sedang mendengarkannya.

Tugas mata kuliah Film dan Sastra itu membuatnya pusing.
Kelas ini mempelajari tentang karya sastra yang diangkat ke film atau sebaliknya, dan mereka harus menganalisa serta membandingkan versi film dengan versi sastranya.

" hai, La. Ngapain ? Kenapa kusut begitu ? "
Binar menghampirinya sambil mencoba mencegah Ice Cream Vanila yang dipegangnya agar tidak meleleh mengotori tangannya.

" Kamu tau bukunya Buya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, kan ? "
Nila menatap Binar, serius. "

" Itu bukannya film ? Eh, emang ada bukunya ? "
Binar melotot.

" Aduh, Nar.
Film itu kan diangkat dari Karya Sastra miliknya Buya Hamka.
Kami ditugaskan membandingkan versi film dengan versi sastranya yang di buku itu. "
Nila menjelaskan dengan raut wajah jengkel.

" Yah udah, tinggal bandingkan saja. "
Binar menanggapinya santai.

Sebelum Nila membuka mulut untuk berbicara, Binar mengingat sesuatu dan menyambarnya dengan senyuman aneh.

" Aku tahu sekarang. Kamu ikut aku saja. "

" Emang kita mau kemana sih, Nar ? "

" Ada yang mau aku kenalin. Seseorang. Pokonya dia itu temannya Leon. Dia kuliah sambil bantu mengontrol Suji Caffe milik ayahnya. Caffe yang pernah kita kunjungi. Kalau tidak salah namanya Dirga. "

" Apa hubungannya sama aku, Nar ? "

" Dia suka baca buku sastra. Koleksi bukunya banyak. Suka menulis juga. Kali aja dia bisa bantu. Gimana ? "

" Boleh. Tapi jangan malam, yah ! Kasian Mak Iyem sendirian di rumah. "

" Siap, Nila. "
Sambil menyentuh hidung sahabatnya.

______

Matahari bersinar dengan sombongnya. Siang itu kira-kira pukul 12.30. Suji Caffe dibanjiri manusia. Ada yang mengerjakan tugas, sekedar ngopi dan mengobrol atau menghindari diri dari rasa bosan.

Nila dan Binar membuka pintu Caffe dan mencari teman yang nyaman untuk duduk.
Baru saja duduk, mereka dihampiri oleh seorang laki-laki tinggi, hidungnya mancung dengan rambutnya yang masih acak-acakan.

" Mau pesan apa, dua bidadari yang turun entah darimana ? "
Senyumannya membuat Nila berhenti berpikir dan bernapas beberapa detik.

" Gerobak rusak kaleeee ! "
Binar menanggapinya sambil tertawa.

" Eh, kenalin. Ini Nila.
La, kenalin. Ini Dirga. "
Binar membuat keduanya akrab.

Nila dan Dirga saling menjabat tangan sambil tersenyum.
Sesaat keduanya tenggelam dalam  debar malu-malu yang lebih kencang dari biasanya.

KERETA WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang