AKHIR MEI 2016

36 2 0
                                    

Bandung masih mesra mencumbui keramaian. Banyak yang sibuk pergi ke sekolah, berangkat ke tempat kerja, jalan-jalan, ataupun sedang sibuk menemui seseorang di berbagai wisata kuliner yang ada di Kota Bandung.
Nila sedang menatap lurus ke arah cermin Hermosa dengan bentuk matahari. Ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke toko buku.
Seperti biasa, Nila akan berangkat sendiri ke toko buku. Ia tidak pernah mengajak siapapun pergi kesana.
Selain karena tidak ingin merepotkan sahabat-sahabatnya, ia juga lebih senang bepergian seorang diri.

" Bi, aku berangkat dulu, yah ! "
Nila pamit sambil mencium tangan Mak Iyem.

" Hati-hati, Nak ! "

" Siap boss ! "

_____

Nila sampai di depan toko buku yang biasanya dia kunjungi. Yah, apalagi kalau bukan pasar buku Palasari.
Menurut lokadata.id, Palasari selalu menjadi tujuan warga Bandung dan sekitarnya untuk berburu buku baru maupun bekas. Kawasan ini telah menjadi "legenda" bagi pemburu buku. Beragam genre buku tersedia di kawasan ini dengan harga yang relatif murah.

Palasari awalnya merupakan pasar Inpres yang menjadi tempat relokasi pedagang buku kaki lima di Cikapundung, dekat alun-alun Bandung pada 1980. Di sana mereka menempati lantai dua pasar Inpres yang kosong. Di lantai bawahnya pedagang bahan makanan.

Saat popularitasnya melejit, pada 1993 terjadi kebakaran besar. Los buku tinggal abu. Bangunan pasar pun dirobohkan. Pemerintah menempatkan pedagang di area parkir pasar sebagai tempat usaha sementara, dan berlanjut sampai sekarang.

Bangkit lagi, para pedagang beralih dari buku antik ke buku-buku pelajaran sekolah. Namun kebakaran selalu mengintai. Api kembali melumat 60-an kios pada 2007.
Palasari kian berkembang hingga 400 kios buku. Palasari online bahkan mengklaim sebagai bursa buku murah dan terbesar di Indonesia.

Nila berjalan pelan sambil mencari buku yang ingin dibelinya.
Ia berhenti sejenak mendapati sebuah karya sastra Angkatan 1980-1990-an.
Sebuah buku berjudul Mimpi Gugur Daun Zaitun karya Dorothea Rosa Herliany pada tahun 1999 itu membuatnya cepat-cepat mengambilnya.
Ia senang masih bisa melihat buku milik Dorothea Rosa Herliany yang merupakan orang pertama yang memenangi kedua kategori Kusala Sastra Khatulistiwa, prosa dan puisi.
Dengan puisi berjudul Santa Rosa pada 2006 dan sebuah prosa berjudul Isinga : Roman Papua pada 2015.

" Sedang mencari karya sastra lama, yah ? "
Nila dikagetkan oleh suara seorang laki-laki yang bersandar dengan tangannya yang dilipat.

" Dirga ? Kok bisa ada disini ? "
Nila menatapnya heran.

" Memangnya laki-laki dilarang datang kesini ? "

" Bukan begitu, maksud saya kamu..."
Belum meneruskan kalimatnya, sudah dipotong sama Dirga.

" Jadi, sudah dapat buku yang kamu mau ? "

" Belum, sih. Ini buku lama yang saya lihat makanya mau ambil. Tujuan utama saya mau cari bukunya Joko Pinurbo. "

" Mau pilih Pacar Senja, Baju Bulan atau Surat Kopi ? "

" Suka baca bukunya Joko Pinurbo juga ? Pantas saja tahu banyak tentang karyanya. "

" Jadi ? "

" Aku pilih Surat Kopi. "

" Kamu tahu, apa kata Joko Pinurbo ? "

" Apa ? "

" Lima menit menjelang minum kopi, aku ingat pesanmu : Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. So, kamu kan baru habis dapat buku karya sastra lama yang kemungkinan sekarang susah didapatkan kembali, jadi mari kita rayakan dengan secangkir kopi ! Ayolah ! "

" Kamu tahu apa kata Joko Pinurbo ? "
Nila tidak mau kalah dari Dirga.

" Apa ? "

" Kau punya bermacam-macam kopi dan kau pernah bertanya : _kau mau pilih yang mana ?_ Aku menjawab : _aku pilih kopimu_
Jadi, haruskah Caffe Suji ? "

" Siapa takut ? "
Dirga menepuk pundaknya Nila.

----------------------------------------------------

Setelah lama berbincang di Palasari, akhirnya Nila dan Dirga memantapkan keinginan untuk menikmati secangkir kopi di Caffe Suji milik ayahnya Dirga.

Dirga memarkirkan motor bertipe cruiser itu, sedangkan Nila sudah terlebih dahulu masuk dalam Caffe.

" So, mau Americano, Espresso, Latte or Coppuccino ? "
Dirga menatap Nila sambil menunggu jawaban si perempuan kutu buku itu.

" Emmm...secangkir Coppuccino kayanya enak. "

" Siap, Princess. "
Dirga tersenyum sedikit meniup rambutnya yang hampir menutupi dahinya.

Secangkir Coppuuccino dengan desain rangkaian daun pada bagian atasnya sudah berada di hadapan Nila.

" Jadi, kamu suka ke Palasari ? "
Dirga melipat kedua tangannya dengan tatapan ingin tahu.

" Iya, kamu juga ? Kenapa tadi bisa muncul di sana ? "
Kata Nila sambil sesekali meneguk Coppucinno-nya.

" Aku suka. Cuma tidak sesering kamu.
Kalau ada buku yang memang ingin saya baca dari hasil searching google, pasti saya akan pergi ke Palasari. "

" Kamu tahu rumahku ? "
Nila sengaja bertanya seperti itu sekadar untuk memastikan apakah Dirga yang mengiriminya surat atau bukan.

" Emmm...
Aku pernah dengar dari Leon. Cuma belum sempat ke rumahmu. Kan kamu tidak mengajakku juga. "
Dirga tersenyum.

" Yah ampun, pasti akan diajak. "
Nila kembali meneguk minumannya.

Nila sudah berpikir bahwa ia akan jatuh hati pada lelaki itu. Lelaki yang selalu saja muncul di hadapannya. Laki-laki yang membuatnya merasa kehilangan senyuman pada beberapa kesempatan yang lalu.

Sesederhana inikah perasaan cinta akan terbentuk ?
Sungguh, Bandung selalu menyuguhkan rasa yang berbeda dalam setiap kebersamaannya dengan Dirga.

KERETA WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang