01 OKTOBER 2018

24 2 0
                                    

Jam dinding di ruang kerja Nila menunjukan pukul 09.00 AM. Ia masih sibuk dengan data di labtopnya tentang pemesanan buku-buku yang mau ia tambahkan ke toko bukunya. Untung saja dia memiliki pegawai yang bisa diandalkan untuk mempermudah pekerjaannya.

" Selamat pagi, Mbak. Maaf mengganggu. Ada surat buat Mbak. "
Kata salah satu pegawainya Nila.

" Surat ? Kok malah diantar ke toko ya ? Bukannya di rumah.
Nila sedikit berpikir.

" Terima kasih, ya !! "
Lanjut Nila.

" Baik, permisi Mbak ! "
Pegawainya berlalu meninggalkan Nila di ruangannya.

Hi, Nila.
Entah sudah berapa detik yang sudah lewat tanpa membiarkan suratku mendarat di hadapanmu.
Aku tahu, kamu akan baik-baik saja.
Tetaplah seperti itu !

_FD_

" Darimana dia tahu alamat toko buku milikku ? Kenapa baru hari ini suratnya kembali menyapa ? "

Nila berbicara sendiri dengan pikiran yang masih kacau perihal siapa dan darimana orang ini berasal.
Ia meletakan kembali surat itu di atas mejanya.

Ponselnya Nila berdering....

Nila : " Halo, Ga. "
Aga : " Lagi buat apa ? "
Nila : " Biasalah, sibuk di toko. Ada apa ? "
Aga : " Aku mau ke toko. Bisa nggak ? "
Nila : " Ya datang saja. Biasanya juga nggak izin. Kenapa malah izin ? "
Aga : " Maksud aku, ngopi bareng ! "
Nila : " Datang saja ! "
Aga : " Ya sudah, see ya ! "

_____________________________

Dua cangkir kopi sudah ada di hadapan Nila dan Aga. Aga terlihat tidak seperti biasanya. Ia kelihatan sedikit pendiam. Padahal biasanya ia yang paling ribut kalau sudah sampai di toko. Entahlah apa yang terjadi dengan Aga hari ini.

" La, aku tahu sesuatu pasti terjadi dengan perasaanmu. Entah masa lalu atau apapun itu, aku tahu kamu tidak menceritakan sesuatu sama aku. "
Dari matanya, ia berbicara dengan serius.

" Ga, bisa nggak jangan bahas yang beginian ? "
Nila mulai menghindar dari topik pembicaraannya Aga.

" Bahkan aku nggak pernah punya niat untuk menanyakan apapun tentang masa lalumu di Leon atau Binar. Tentang apapun yang kamu lakukan selama aku di London. Aku hanya ingin mendengarkan semua dari mulutmu, La. "

" Ga, aku baik-baik saja. Seriusan. "

Nila meyakinkan Aga sembari memegang tangannya.

" La, mungkin candaanku yang tidak ada batas ini membuatku canggung untuk berbicara serius. Tapi, setiap kata yang keluar tentang sayangnya aku sama kamu, tidak pernah main-main. "

" Ga, terima kasih karena sampai hari ini masih selalu ada di sini. Mungkin hidupku akan kehabisan rona kalau kamu tidak pernah ada di sini. "

Nila menatapnya begitu dalam.

Antara ampas kopi yang mulai dingin, bekas bibir pada cangkir yang akan hilang dibasuh air, juga di antara pengunjung yang berlalu pergi, Nila memikirkan banyak hal. Antara Dirga yang tidak pernah memberi kabar, surat yang entah dari siapa dan Aga yang membuatnya semakin dilema.

_________________________

Rumah Nila didesain juga dengan balkon kecil dan kontemporer. Terdapat sebuah sofa dan bantal kursi berlapis kain perca yang nyaman. Tidak hanya itu, ada sebuah meja kecil berpola geometris yang biasa dipakai Nila untuk menikmati secangkir kopi sambil menikmati keramaian kota dari jarak jauh.
Nila memegang sebuah buku berjudul " Pada Suatu Hari Nanti " karya Sapardi Djoko Damono.
Ia masih belum membuka bukunya. Pikirannya lari kemana-mana. Matanya memandang jauh ke depan.

Ia terlihat seolah-olah mengutuk diri sendiri dalam diam. Bagaimana bisa ia melepaskan hatinya terbawa oleh seorang laki-laki yang baru beberapa kali ia temui.

Laki-laki yang memiliki banyak persamaan dengannya.
Laki-laki yang selalu nyambung diajak berbicara.
Sesederhana itukah ?
Sesingkat itu ia jatuh hati. Apakah kebersamaan yang dulu bisa diubah menjadi sebuah peristiwa yang tidak pernah terjadi ?
Laki-laki seperti apa yang meninggalkannya tanpa pesan ? Yang hilang tanpa jejak.

" Nak, ada apa ? "
Mak Iyem mengejutkan Nila yang sudah terlalu lama melamun.

" Yah ampun, Bi. Nila sampai kaget ! "
Nila menoleh ke arah Mak Iyem.

" Kamu kenapa ? Ada masalah ? "
Mak Iyem duduk di sampingnya sambil merapikan rambutnya Nila yang sedikit berantakan.

" Bi, siapa yang punya wewenang mengatur hati seseorang untuk jatuh di tempat yang tepat ? "

" Nak, jatuh cinta itu wajar. Ia hadir tanpa perintah. Kadang menghilang tanpa arahan. Kamu harus belajar berjuang, belajar merelakan, ataupun belajar untuk melupakan. "

" Kalau kita memperjuangkan orang yang sudah lama menghilang, sia-sia ya Bi ? "

" Pada waktunya kalau direstui oleh Yang Punya Wewenang, pasti akan kembali kok, Nak ! "

Nila terdiam. Ia menyandarkan kepalanya di atas pundak Bibinya. Mereka larut bersama senja yang ingin kembali menemui malam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KERETA WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang