APRIL 2016

53 4 0
                                    

                  Kota Kembang begitu ramai dibanjiri manusia. Jalan Braga masih menjadi destinasi yang diminati. Di wilayah ini kita bisa melihat bangunan bergaya kolonial yang sekarang dialihfungsikan sebagai restoran, toko, hingga kedai kopi bernuansa klasik.
Tidak hanya itu, terdapat juga mural di terowongan jalan Braga dengan kutipan mengenai Bandung yang sering sekali dijadikan latar untuk berpose.

Di depan Gedung Merdeka yang merupakan Gedung Asia Afrika yang dulunya adalah gedung Societeit Concordia tersebut, Nila berdiri dengan beberapa kertas di tangannya. Kelihatannya dia akan menelpon seseorang.

" Hallo, Nar. Bisa jemput aku di depan Gedung Merdeka ? "

" Kamu ngapain disitu ? "

" Ada urusan. Pokonya jemput aku, yah ? "

" Maaf, La. Aku lagi ada kuliah sekarang. Oh iya, bagaimana kalau Dirga saja yang jemput kamu ? "

" Ngapain ngerepotin anak orang ? "

" Aku udah chat dia dan dia sekarang mau jemput kamu. "

" Wah, parah. Binar kebiasaanmu itu aku nggak suka, yah ! "

" Udah, yah ! Bye. "

________

      15 menit telah berlalu. Nila masih mondar-mandir dan matanya melihat kiri kanan mencari Dirga.
Sebuah sepeda motor tipe cruiser menyerupai hasil produk pabrikan Harley Davidson dan Bajaj Avenger itu berhenti tepat di depannya.
Laki-laki dengan jaket jeans hitam itu membuka helmnya tanpa turun dari motor.

" Di keramaian dengan banyak kerumunan manusia, ternyata aku bisa menemukanmu juga, yah ! "
Kata Dirga sembari mengeluarkan senyuman paling manisnya.

" Iii..iyaa...syukurlah kalau kamu bisa menemukanku. "
Dari raut wajahnya, bisa ditebak. Ia gugup.

" Mau pulang sekarang atau setelah abad ini habis ? "
Dirga menyalakan kembali motornya yang tadi sempat dia matikan.

" Iyaa..."
Nila mendekatinya dan mulai duduk di belakang laki-laki itu.

     Dalam perjalanan, Dirga bercerita banyak tentang usaha Caffe milik ayahnya. Dia juga bercerita tentang kampusnya, juga tentang jurusan Teknik Arsitektur yang diambilnya.

" Aku dengar dari Binar sama Leon, katanya kamu ambil Sastra, yah ? "
Dirga berusaha mengajak Nila yang  sedikit pendiam itu untuk lebih nyaman berbicara dengannya.

" Iya, aku suka sastra. "

" Sering baca tulisannya, siapa ? "

" Banyak. Tapi lebih suka baca bukunya Pramoedya Ananta Toer, Taufiq Ismail sama Eka Kurniawan. "

" Kalau Andrea Hirata, tau ? "

" Emm...sapa sih yang tidak tau penulis novel The Rainbow Troops ! "

" Yah tidak semua orang tau Andrea Hirata. Yang mereka tau itu film-nya Laskar Pelangi. Penulisnya malah dilupakan. "

" Begitulah...kita menikmati tanpa mau mencari tahu. "

" Kaya kamu, mau saja dijemput sama aku padahal belum tau siapa aku sesungguhnya. "
Dirga mencoba mengganggunya.

" Emang kamu menjalankan modus operandi ? "

" Hahahaha....bisa aja kamu..."

              Bandung terasa berbeda, setelah keduanya melewati jalanan yang tidak terlalu jauh menuju rumah namun masih jauh menuju harapan.
Keduanya merasa nyaman ketika saling berbagi cerita.
Walaupun Nila begitu dingin seperti manusia es, namun Dirga selalu menjadi api untuk mencairkan setiap keragu-raguannya untuk berbicara.
Kota Kembang memang selalu punya cara untuk mempertemukan. Apalagi untuk dua insan yang saling mencari dalam takdir yang bersembunyi di balik tirai kehidupan.

__________

      Bandung, 2016

My Diary, apakah sebuah rasa harus terbang tanpa tahu kemana ia akan mendarat ?
Jika sewaktu-waktu ia terjatuh, apakah ia bisa memprediksi antara luka yang harus ia tanggung ataukah senyuman yang ia lebarkan karena mendarat di tempat yang tepat ?

Namun, bukankah jatuh dan tidaknya adalah takdir ?
Entahlah...
Sebuah rasa memang tidak perlu penjelasan.

_Catatan Nila_

         Nila menjauhkan buku Diary dari atas tempat tidurnya, lalu membuka jendela kamarnya.
Senja masih menguning, tenang.
Pikiran Nila yang semakin gaduh.
Tidak biasanya ia meramaikan otaknya dengan persoalan perasaan yang entah dengan kata apa ia harus memberinya nama.

Untuk menghilangkan kejenuhannya, ia meraih buku Lintang Sugianto yang berjudul Matahari di Atas Gilli.
Buku yang bertemakan tragedi cinta itu membuatnya sesaat
melupakan apa yang baru saja bertengger di atas kebingungannya.
Di sela-sela waktu membacanya, ada panggilan masuk dari Leon yang membuatnya harus menghentikan aktivitas membacanya itu.

" Hallo, Leon. Ada apa ? "

" Bulan depan kan ulang tahunku, kalau tidak ada agenda, kita ke Pine Forest Camp, yah ? "

" Ngapain ? "

" Bisa, yah ? Ayolah, ada Binar juga. "

" Hmmm...lagi-lagi dijadikan obat nyamuk. "

" Oke bisa, kan ? Terima kasih, La. Aku tahu kamu mau. Byeeeee..."
Leon tidak memberikan kesempatan kepada Nila untuk menjawab dan langsung mengakhiri panggilannya.

" Ulang tahun masih sebulan lagi, tapi sudah undang dari sekarang. Dasaarrr Leon ! "
Nila berbicara sendiri.

KERETA WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang