39. Diary Senja 2

32K 1.7K 27
                                    

Malaaam! Apa kabar? Semoga selalu sehat dan bahagia, ya!🤗

Btw, happy 30k viewers!👏 Aku nggak nyangka kalo si kembar bakal nyentuh angka segitu😌. Yang jelas aku sangat-sangat berterima kasih ke kalian yang setia baca, vote dan komen cerita ini. Baik untuk pembaca setia dan silent reader, aku ucapin makasih banyak! Tanpa kalian cerita ini mungkin gak akan bisa berlanjut sampe part ini. Kalian hebat! Terimakasih!❤️❤️

Kalian masih setia, 'kan nunggu aku update cerita si kembar? Kalo iya, terima kasih banyak! Kalian penyemangat aku untuk terus nulis cerita ini❤️.

Selamat membaca, semoga suka❤️

***

"Senja mau ke mana?"

"Aku mau ke perpustakaan sebentar, mau pinjam buku matematika," jawab Senja seraya beranjak dari kursi yang didudukinya.

Senja menoleh dan bertanya pada Diva. "Kenapa? Mau ikut?"

Diva menggeleng polos seraya menampilkan deretan giginya yang rapi kepada Senja. "Enggak. Diva cuma nanya aja," balasnya.

Senja hanya membulatkan mulutnya kemudian melangkah keluar kelas. Ia berjalan sendirian di koridor menuju perpustakaan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kelas IPS 3.

Beberapa meter di belakang Senja, Diva menyembulkan kepalanya, mengintip dari balik pintu kelas. Dia hanya ingin memastikan jika Senja sudah benar-benar pergi.

Setelah kepergian sahabatnya yang ingin ke perpustakaan, Diva dengan buru-buru kembali ke bangkunya. Saat ini di kelas hanya ada Diva dan seorang laki-laki teman kelasnya yang tengah tertidur pulas di sudut kelas. Beruntung baginya bisa leluasa menggeledah isi tas Senja. Meskipun ini adalah hal yang tak pantas dilakukan karena sudah mengganggu privasi seseorang.

Diva menatap ragu-ragu tas ransel warna cokelat di depannya.

"Buka? Enggak? Buka? Enggak? Buka?" pikirnya sambil menghitung. Buka aja deh, Diva udah terlanjur penasaran.

Diva langsung meraih tas itu dan membukanya. Tangan kecil Diva mengobrak-abrik isi tas Senja, mencoba mencari sesuatu di dalam tas tersebut.

"Nah, ini dia," ucap Diva girang setelah mendapat apa yang ia cari.

"Maaf ya Senja, Diva udah lancang buka tasnya Senja. Diva cuma pengen memastikan aja." Diva bergumam seraya menatap sebuah buku di tangannya.

Ia membuka buku diary milik Senja. Dibacanya setiap kata yang ada di kertas diary tersebut. Sampai di penyekat buku, mata Diva dengan teliti membaca setiap hurufnya. Ada nama kembarannya di sana. Biodata Dava dan ... tanggal pertama kali Senja bertemu Dava? Semuanya tentang curahan hati Senja terhadap Dava yang tak terbalas?

Diva meringis membacanya. Ia tidak menyangka jika orang yang selama ini  menjadi sahabatnya menyimpan sebuah rasa yang lebih pada salah satu kembarannya.

Diva bergumam. "Jadi ... selama ini Senja suka sama bang Dava?"

"Kenapa Senja gak pernah cerita?"

Diva terus membaca setiap tulisan di halaman diary itu hingga halaman terakhir.

Setelah selesai dengan acara ilegal tersebut, Diva kembali menaruh diary itu ke tempat semula. Meletakkan semirip mungkin agar si pemilik tidak curiga.

"Bang Dava suka juga nggak ya sama Senja? Kalo enggak, kasian Senja. Cintanya bertepuk setengah tangan—eh sebelah tangan maksudnya," ujar Diva bermonolog, memikirkan nasib sahabatnya.

Diva menghela napas panjang. Ia tidak tega jika nanti takdir tidak berpihak pada Senja. Diva tidak ingin Senja menangis hanya karena kenyataan kalau Dava tidak menyukainya.

"Ihh ... tau ah pusing mikirinnya! Jangankan mikirin soal cinta, baru mikir matematika aja kepala Diva udah mau meledak," keluh Diva yang merasa pusing sendiri memikirkan hal ini.

Diva tersentak, jantungnya berdetak kencang saat tiba-tiba seseorang mengagetkannya.

"Hayo mikirin apa?!" seru Davi sambil menggebrak meja Diva.

Untung saja diary itu sudah Diva masukkan lagi ke dalam tas Senja, jika tidak bisa gawat! Apalagi jika ketahuan Davi. Ditambah mulut Davi yang ember tidak menutup kemungkinan jika ia akan membongkar semua rahasia Senja pada Dava. Atau mungkin ke semua teman-temannya? Duh, jangan sampai.

"Bang Davi! Ngangetin tau gak!" Mata Diva melotot tajam seperti hendak loncat keluar dari tempatnya.

Davi menyengir kuda sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Kenapa sendirian? Senja ke mana?" tanya Davi yang hanya mendapati Diva sendirian di dalam kelas.

"Ke perpus." Diva menjawab dengan ketus.

"Bang Dava mana?" Diva balik bertanya

"Sama. Dia juga lagi di perpus, makanya Abang ke sini. Bosen main sama batangan mulu," celetuk Davi tanpa beban seraya duduk di atas meja adik kembarnya.

"Kamu udah makan?" Davi menatap adik perempuannya itu dengan lembut. Wajah Diva tampak sangat menggemaskan. Pipinya yang gembil ditambah poninya yang lucu. Rasanya Davi ingin memakan Diva saking tak dapat menahan kegemasannya.

"Belum," jawab Diva singkat.

"Why?" Davi mengerutkan keningnya.

"Gak usah sok-sok'an pake bahasa Inggris deh!" ketus Diva sewot. Ia memutar bola matanya jengah.

Davi tertawa keras mendengar balasan dari sang adik. "Biar keren Mbul!" kata Davi membela diri.

"Bang Davi mah gak ada keren-kerennya!" cibir Diva jujur sembari memandang kembarannya yang duduk di depannya.

"Dih, siapa bilang? Abang nih keren tau! Buktinya banyak yang suka sama Abang," ucap Davi menyombongkan dirinya.

"Mantan pembantu di rumahnya om Ari dulu, 'kan?"

"Sembarangan kalo ngomong! Abang ini cowok paling ganteng ya! Masa iya pacaran sama pembantu yang udah tua dan bangkotan!" sanggahnya tak terima dipasangkan dengan seorang pembantu berumur empat puluh tahunan yang dulu sempat bekerja di rumah om dan tantenya sebelum mereka memutuskan pindah ke Surabaya.

Diva hanya mengedikkan bahunya acuh dan tak peduli.

"Makan yuk!" ajak Davi pada Diva, kembarannya yang berbeda 15 menit darinya.

"Ayo! Abang yang traktir," sahut cepat Diva lalu berjalan meninggalkan Davi yang masih duduk di meja.

Dengan tatapan cengo, Davi menatap kepergian Diva. Gadis cantik itu berjalan sambil bersenandung riang seolah tak merasa bersalah. "Gue ngajak bukan berarti gue juga juga traktir Bambang!!!" teriak Davi sambil meninju meja.

"DIVAAA!!! WOIII!! ABANG GAK JADI MAKAN!!" teriak Davi di depan pintu kelas Diva. "Mending gue puasa daripada bayarin tuh bocah makan. Bisa-bisa abis duit gue kalo bayarin dia makan, mana dia kalo makan udah kek orang yang gak makan setahun!" gerutunya mendengus sebal.

Davi melompat dari atas meja, ia berdecak melihat Diva yang masih berjalan menuju kantin. Dengan perasaan sedikit dongkol Davi memilih berjalan keluar kelas Diva dan kembali ke kelasnya. Daripada ia harus mentraktir adik kembarnya makan, mending ia rebahan saja di kelas. Lebih bermanfaat tanpa harus membuang-buang uang.



Bersambung...

Gimana sama part ini?
Part selanjutnya mau munculin siapa? Si kembar, Saka-Diva, Dava-Senja atau Juna-Diva?

Lanjut atau enggak?

Jangan lupa vote dan komen, ya guys!🤗

Kembar-Kembar SomplakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang