BAB 3

41 6 0
                                    

Jam tiga dini hari lufi kembali terbangun setelah selama satu jam tertidur. Ia melihat Nalu yang masih tertidur nyenyak dengan tubuh yang berbalut selimut.

" Bangun dulu" ia memeluk tubuh istrinya itu dari belakang, mencium puncak kepalanya berulang ulang kali. " Tahajud dulu yok"

Nalu bergeming, matanya belum bisa terbuka dengan sempurna, akibat baru tidur satu jam membuat rasa kantuk benar benar menderanya.

" Jam berapa tad ?"

" Jam tiga !"

" Biasanya jam empat!"

" Kita harus mandi besar dulu kan !"

Ya ampun, Nalu baru ingat seperti apa keadaan tubuhnya. Lekas lekas ia duduk dan mengakat selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan wajahnya.

" Ustadz deluan aja pake kamar mandinya"

Lufi tersenyum kecil ketika melihat wajah Nalu yang tiba tiba memerah.
" Mandi bareng bareng aja. Biar cepat"

Nalu menggeleng dengan cepat.
" Jangan! Ustadz deluan aja. Waktu tahajjudnya masih panjang kok"

" Kan lebih cepat lebih baik"

Lufi semakin gencar menggoda, membuat Nalu menunduk dalam karena tidak tau lagi harus berkata apa lagi.

" Yaudah, saya deluan ya!" Sebelum beranjak turun dengan membenarkan sarungnya, ia sempatkan terlebih dahulu untuk mengusap ngusap puncak kepala istrinya yang masih tersipu malu itu.

Setelah lufi menghilang dari balik pintu, Nalu dengan lekas bangkit dan menghidupi saklar lampu guna untuk menerangi kamarnya yang gelap gulita. Mata terbelalak kaget ketika menemukan darah segar berwarna merah mengotori seprai yang berwarna biru muda itu.

Ia benar benar merasa seperti mimpi. Tidak menyangka kalau saat ini ia sudah benar benar menjadi istri dari seorang ustadz yang selama ini secara diam diam ia kagumi.

Sungguh maha penyayangnya Allah, tidak ada yang tidak mungkin dapat di dunia ini, semuanya dapat terjadi jika itu sudah menjadi kehendakNya, garis takdir tidak akan tertukar, walaupun semuanya hampir terlihat tidak mungkin, tapi itulah kekuasaan Allah.

Dengan cepat, ia lepas seprai yang sudah di kotori oleh darahnya itu. Ia mengambil seprai yang berwarna pink dari dalam lemarinya, lalu ia letakkan baju lufi berserta sarungnya untuk lelaki itu sholat nanti.

~~~~~~~~wulan ananda~~~~~~~~

" Dek nanti saya mau ke kedai kopi dan pulangnya mungkin malam karena ini kan malam Minggu. Kalok adek takut di rumah, adek bisa ikut saya ke kedai"

" Kedai ?"

Lufi menggaguk.

" Dek, katanya suka menulis?"

" Iya, dulu sempat punya cita cita jadi penulis emang!"

" Sekarang?"

Nalu menggeleng lemah.

" Kenapa?"

"Begini saja udah cukup!"

" Pengen kuliah?"

" Kuliah?"

Lufi menggaguk. " Kalok adek pengen kuliah, nanti saya bisa lebih giat lagi buat tambah biaya kita"

" Enggak usah tad, kalok di pikir pikir dunia emang cuma sementara kok. Kalok mau kuliah kan bisa kuliah sama ustadz tentang akherat!"

" Kalok gitu nanti ikut saya ke kedai aja ya! Saya gak mau kamu ketakutan di rumah sendirian"

Nalu mengaguk. Lalu ia kembali melipat pakaian yang barusan di angkatnya. Nalu bisa merasakan telapak tangannya yang mulai kasar karena ia harus mencuci pakaian dengan tangannya sendiri, terlebih lagi kulit kulit tanganya juga memerah, bahkan terkelupas membuat ia merasa perih kalau nanti kembali terkena sabun.

Ia sudah memperkirakan ini terjadi sejak akad itu terucap. Namun ia tidak menyesali itu. Apapun yang terjadi kedepannya ia akan menerima dan mencoba untuk ikhlas. Satu kunci yang ia pegang selama ini, ia selalu nyaman jika melihat lufi, bila mengingat lufi, dan bila mendengar lelaki itu mengumandangkan azannya.

" Sudah siap ?"

Nalu mendongak dan mendapati lufi yang sudah rapi dengan kemeja biru muda dengan celana bahan warna hitamnya.

" Ustadz mau kemana ?"

" Mau ke tambak, adek mau ikut enggak?"

" Ke tambak mau ngapain ustadz ?"

" Sudah waktunya panen garam !"

" Tunggu sebentar, mau ganti baju dulu"

Lufi menggaguk dan melangkah keluar menuju teras rumahnya. Ia memperhatikan halaman rumahnya yang di bergabung dengan halaman rumah milik tetangga yang memang satu dinding dengannya, semuanya tampak rapi hanya dengan di bersihkan oleh tangan Nalu tanpa di bantu siapapun, karena memang rumah di samping belum ada di menempati karena belum adanya guru lainnya menikah lagi.

Sedih juga rasanya ketika ia memperhatikan Nalu tadi. Yah....lufi memang bisa melihat bagaimana keluarga mereka memperlakukan si bungsu yang memang satu satunya wanita yang terlahir dari rahim ibu mereka. Nalu kerap sekali menjadi kebanggaan bagi mereka, gadis itu selalu berusaha agar menjadi yang terbaik dan berusaha menjaga nama baik. Jadi wajar jika istrinya itu sedikit manja.

~~~~~~~~~~~~wulan ananda~~~~~~

" Loh masih manggi ustadz toh nak ?"

Nalu sedikit kikuk ketika ibunya lufi menegurnya karena barusan ia masih memanggil suaminya itu dengan embel embel ' ustadz'

" Maaf Bu " Cicit Nalu pelan. Ia sebenarnya tidak menyangka jika di sini ia akan kembali lagi bertemu dengan ibunya lufi yang memang belum begitu akrab dengan dirinya paskah pernikahan mereka yang memang terbilang unik.

" Panggil mamak sajalah! Aku ini emaknya lufi kok, ya sudah seharusnya menantuku memanggil mamak juga !"

" Maklum lah Mak, kan belum terbiasa!" Lufi membela Nalu yang terlihat sungkan atau bahkan tidak nyaman dengan perkataan ibunya.

" Yaudah, kaleu pajoh bu ?"

" Heng ?"

Nalu menatap suaminya dengan penuh kebingungan. Entah apa yang barusan di katakan oleh  ibu mertuanya itu, yang jelas ia memang benar benar tidak mengerti bahasa daerah sini.

" Sudah Mak ! " Lufi mengemgam tangan Nalu ." Nalu tak pandai bahasa Aceh Mak, dia gak ngerti"

Ibunya lufi mengaguk ngaguk, wajahnya memang terlihat tenang dan santai. Namun jauh di dalam hatinya, Nalu sangat takut jika emak mertuanya itu tidak menyukainya dan mengagap dirinya bukanlah menantu idamannya.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu.

Hello readeerrr..
Jangan lupa kewajibannya terhadap Allah. 😘😘😘😘

Salam cinta wulan

Utusan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang