ORANGE
.
Bromance
.
(the purest form of love is friendship)
{*}
Pria itu menatapi pemuda yang tengah menantinya. Orang yang ia anggap seperti adik sendiri. Rambut pirang terempas angin. Mata menyimpan banyak biru, melampaui makna warna. Menekuri lekuk ombak. Menggerung tentang filosofi gelombang beku yang selurud murid si pertapa hafal mati.
"Berhenti komat-kamit soal ombak beku, woy, Naruto. Ombak yang beriak. Kalau tidak, namanya air itu tak punya muara. Tapi terjebak di situ saja," seloroh pria yang baru datang.
Naruto Uzumaki mengelus dada. Mencoba terbiasa dengan bahasa blak-blakan dan kasual malaikat penyelamatnya. Sesaat ia ternganga, lalu berdecak. "Jaga jarak aman, Kurama. Stay 10 meters far from me."
"And why should I do that?" Sepasang mata merah itu berpijar. Kurang ajar, what do you expect?
Naruto memutar bola mata. Menunjuk mantel wol hitam bergradasi oranye dan black leather pants yang ia kenakan. "Penampilanku kebanting. Kau kayak eksmud CEO kaya dan jaya. Aku mirip preman emperan jalan."
"Put your insecurity complex away." Kurama tertawa brutal. "It's fucking annoying."
"Can you just put it simply that I am good looking too?" Naruto mendengkus, apalagi pas Kurama malah pamer taring runcing yang cuma ada sebelah. "Kau enggak cocok pakai kacamata bulat bening gagang emas begitu."
"Trims. Aku jadi tahu seberapa dengkinya kau." Kurama berpura-pura bercermin di etalase toko yang tutup untuk nap time.
Naruto fix memvonisnya kurang ajar stadium empat. Membatin saja. Lucu juga. Tahunan berlalu, Kurama datang dengan setelan burgundy jacket-suit, kemeja abu-abu gelap, black corduroy pants, arloji analog silver metalik, lengkap dengan ikat pinggang gesper lambang 69-noted that he said it is his favorite position. Penghinaan. Padahal ibu-ibu gang tempat Guru Jiraya tinggal saja tahu, kelakuannya preman dengan mulut bajingan.
Jiraiya Herra juga, bukannya menegur, malah membantah bahwa posisi 71 itu terbaik.
Naruto mempertanyakan kewarasan, mengapa dirinya sudi terjebak dengan mereka semua. Ia seperti ini karena kondisi, tapi dia sadar diri bahwa ini pertama kali Kurama tampil sebagaimana dirinya seharusnya.
Kurama memindai sekeliling. Sunyi dan lengang. Ia merendahkan suara. "Mana Si Ganjen?"
"Jiraiya Herra. Sedang tidur siang," sela Naruto. Terkekeh melihat Kurama mencibir. "Enggak kapok ya dicekok kodok sama Herra?"
"Kodok bisa jadi hidangan seksi di Perancis." Kurama menyeringai. Ia menyerahkan berkas pada Naruto. "Nih. Bilang apa?"
Senyum Naruto berubah timpang. "Traktir, dong."
"Bangke banget memang ini junior satu." Kurama buang napas keras-keras. "Thanks kek."
Naruto menegur, "Hush. Bahasa Anda, ya."
"Bukan saya sih yang bapak guru," ledeknya, dengan wajar memaparkan level kekampretan akut.
Naruto pasang tampang I'm-holier-than-thou-mentally. "Ini dapat dari kementerian?"
"Basecamp."
"Kok di markas?"
"Aku ditinggal sama sekretaris diplomat. Kukadali untuk dating, tapi belum apa-apa, itu sekretaris mencerocos bahwa dia feminist, berpandangan seedan cowok tuh harus bisa menyanggupi segala hal yang cewek mau. Dari buka pintu, bayar makan, antar-jemput, kasih surprise pas special event. Itu baru manly. Kesetaraan gender itu seperti cowok tuh kepeprek di kereta jam pulang kerja dan enggak dapat tempat duduk walau sudah capek banget, wajar saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORANGE
FanfictionNaruto Uzumaki tidak punya banyak hal dalam hidupnya, hingga ia bertemu, jatuh cinta, hingga berkeluarga dengan Hinata Hyuuga. Namun, menikah di usia terlalu muda dan punya 2 anak, tidak semudah yang ia pikirkan. Cinta saja tidak cukup. Lambat laun...