Tangan kurus itu menabur kelopak bunga mawar di atas pusara, sambil sesekali menghela napas panjang. Gadis yang belum setahun lulus SMA tersebut, tak lagi meneteskan air mata seperti sebelumnya, saat ia datang ke pemakaman umum itu, di mana ibu dan adiknya dikuburkan 9 tahun silam.
Tanpa suara, ia terus mengelus batu nisan di hadapannya, merapalkan doa agar dua orang yang sangat dicintainya, berada di tempat terbaik di sisi Tuhan.
Sudah hampir 3 jam, Wulan berada di pemakaman itu, kebiasaan yang selalu ia lakukan saat tengah rindu pada ibu dan adiknya. Menghabiskan waktu hanya dengan memandangi batu nisan yang berdampingan.
Jika saja Laras—adik ibunya Wulan—yang selama ini merawat Wulan tak mengirimkan pesan lewat ponselnya, mungkin Wulan tak akan beranjak dari sana. Semenjak kejadian mengerikan 9 tahun silam, Wulan tinggal bersama bibinya dan diasuh oleh Laras yang ditakdirkan belum dikarunia anak selama 12 tahun pernikahannya hingga suami sang bibi meninggal 5 tahun lalu.
Wulan duduk menjuntai di halte yang tak jauh dari pemakaman. Kakinya memainkan puntung rokok yang tercecer di tanah sembari menunggu bus datang. Getar ponsel membuat Wulan merogoh saku jaket. Nama Bulek Laras tertera di layar berukuran 5 inchi tersebut.
“Halo, Bulek,” sapa Wulan sesaat setelah menggeser tombol hijau pada layar.
“Halo, di mana kamu, Lan? Masih di pemakaman? Cepat pulang, sudah mau gelap begini, kok, masih di luar rumah. Pamali, anak gadis kalau—”
“Iya, Bulek. Ini lagi nunggu bus datang,” potong Wulan cepat. Kalau tidak, bisa semakin panjang ceramah yang akan ia dengarkan.
Terdengar helaan napas panjang dari seberang. “Ya sudah, hati-hati di jalan. Bulek sudah masak makanan kesukaanmu. Cepat pulang, ya.”
“Iya.”
Sambungan terputus, segera ia masukkan lagi ponsel ke dalam saku jaket. Wulan mengedarkan pandangan, menunggu bis yang tak kunjung datang, padahal sebentar lagi matahari akan menyembunyikan sinarnya. Seharusnya bus dari kota sudah lewat sedari tadi.
Kota terdekat berada sekitar 40 kilometer. Jika bus dari kota hendak menuju desa tempat tinggal Wulan, bus akan melewati jalan yang membelah pinggang perbukitan. Yang mana, sisi kanan jalan berupa tebing batu yang dikeruk, sedangkan sisi lainnya berupa lembah yang dipenuhi pepohonan dan semak belukar. Sesekali bus melewati perkampungan yang cukup ramai. Juga melewati desa tempat ibu dan adik Wulan dimakamkan.
Begitu sampai di kota kecamatan, banyak penumpang yang turun di sana. Jika sudah tak ada penumpang, maka bus akan berhenti di desa kecamatan. Di desa kecamatan, ada berbagai fasilitas umum yang cukup lengkap. Ada pasar yang ramai setiap hari, rumah sakit, sekolah, juga kantor kepolisian. Sinyal ponsel dan internet pun cukup bagus kualitasnya. Di desa kecamatan itu juga, Wulan menyelesaikan SMP dan SMU-nya.
Kalau masih ada penumpang, bus akan mengantarkan sampai tujuan, biasanya hingga desa tempat tinggal Wulan dan dua-tiga desa setelahnya.
Baru saja ia menyandarkan punggung, terlihat besi kotak beroda enam itu berbelok dari tikungan menuju halte tempat ia berada. Hanya ada Wulan seorang di halte tersebut.
Dalam hitungan menit, Wulan sudah berada dalam bus yang hampir semua kursinya telah berisi penumpang. Gadis bertubuh kurus itu, memilih duduk di kursi paling belakang yang masih kosong. Di sampingnya, duduk menyender ke jendela kaca, seorang gadis berambut pendek yang tengah terlelap.
Melihat penumpang di sebelahnya begitu pulas, Wulan sesekali menutup mulut saat menguap karena hawa kantuk tiba-tiba menyerang.
Butuh waktu 30 menit untuk sampai di halte desa kecamatan. Bolehlah tidur sebentar, barang 10 menit, aku rasanya sangat mengantuk, batin Wulan. Setelah memastikan barang bawaannya aman, gadis berambut panjang itu mulai memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pembaca Kematian (Sudah Terbit)
Mystery / ThrillerSejak kecil, Wulan sering bermimpi yang mengisyaratkan kematian. Termasuk tentang kecelakaan bianglala yang menewaskan ibu dan adiknya. Firasat kematian yang awalnya masih samar, perlahan kian jelas saat Wulan beranjak dewasa. Ia sangat ketakutan ka...