Cahaya langit mulai redup. Kali ini senja memerah muda. Sepasang muda-mudi di berbagai kota di belahan dunia mungkin tengah menghabiskan waktu senja ini dengan memadu kasih.
Dan mereka? Mutia, Arkan, Bima, dan Kirana.. Hahaha lupakan saja! Mereka terlalu kecil untuk mengetahui hiruk-pikuk kehidupan cinta para orang dewasa.
Ratih dan Ibra misalnya. Mereka tahun depan berencana akan menikah, kabarnya. Namun hei! Lihatlah, Mbak Ratih baru saja datang ke rumah Arkan dan mengirim undangan pernikahannya minggu depan. Dengan siapa?
"Bun, ada Mbak Ratih di depan. Dia kasih ini Bun ke Bi Asih sama aku di depan tadi. Cantik ya Bun, Mbak Ratih. Mbak kirim salam sama Bunda dan Mas Ibra. Tapi Mbak minta izin, buru-buru pulang jadi gak sempat mampir, katanya Bun" celoteh Mutia setengah berlari ke arah bundanya.
"Sini, Mut. Biar Bunda yang simpan" Sahut bunda lembut sambil membaca sekilas dan menyimpan undangan itu di laci meja kaca.
"Mbak Ratih itu jadi nikah, Bun?" Tanya Cahyo yang sedari tadi menyimak dari ruang TV.
Bunda mengangguk.
"Kasihan Mas Ibra." Sambung Cahyo dengan nada prihatin.
"Mbak Ratih mau nikah sama Mas kita ya, Bun?" Seru Mutia antusias.
"Ndak, Mutia. Mbak Ratih nikahnya sama Mas orang lain" jelas Bunda.
"Yahhh, kok gitu Bun.." Mutia menatap sedih sekaligus bingung ke arah bunda, mencoba mengerti maksud perkataan bundanya, meski saat itu ia masih anak kecil berusia 9 tahun.
"Ya sudah, tho. Berarti dia bukan jodohnya Mas-mu. Nanti Mas-mu juga bakal ketemu jodohnya" sambung Bunda yang sebenarnya menyimpan kesedihan atas Ibra, anak sulungnya yang beberapa waktu lalu menangis lewat telepon. Mutia mengangguk mantap. Seolah-olah paham apa yang dimaksud dengan jodoh dari penjelasan bundanya.
"Cahyo, kamu jangan cerita apa-apa dulu ke Mas-mu soal ini, biar dia fokus sama skripsinya dulu, takut dia makin kepikiran" pinta Bunda pada Cahyo yang dibalas dengan anggukan mantap.
Bulan lalu, Ibra memang mengabarkan bahwa Ratih dan dirinya sudah putus, dan Ratih akan melangsungkan pernikahan dengan orang lain sekampus Ratih di Bandung. Tepatnya, kakak tingkat Ratih di Fakultas Kedokteran. Ibra tidak kenal siapa orang itu. Namun tentu saja hal itu sangat menyakitkan bagi Ibra, yang saat ini sedang berjuang menjalani masa penyusunan skripsi di kampusnya, di Jakarta. Selama ini, dia dan Ratih memang menjalani hubungan LDR antarkota.
Namun selama ini, tidak ada yang terlihat keberatan di antara mereka. Bahkan setiap libur panjang, Ratih dan Ibra sering kunjung-kunjungan rumah. Sehingga, hubungan antara kedua keluarga mereka terbilang cukup dekat. Sayang, Ratih memilih menikah dengan alasan sudah didesak keluarga untuk menikah tapi Ibra yang menolaknya. Ibra memang mengatakan bahwa ia masih skripsi dan belum siap untuk melamar Ratih tanpa pekerjaan yang tetap. Ibra sendiri sangat terkejut mendengar keputusan Ratih untuk mengakhiri hubungan mereka selama 4 tahun terakhir. Mungkin, benar kata Bunda. Mereka tidak berjodoh. Itulah poin utamanya.
Dalam suasana ini, bunda tidak ingin menambah beban Ibra. Bunda tidak memberitahu Ibra bahwa bunda telah menerima undangan dari Ratih. Sebab baru kemarin Ibra berpesan untuk menolak undangan tersebut apabila dikirim ke rumah bundanya. Akan tetapi, menurut bunda, hal demikian tidaklah bijak. Ibra akan tetap di Jakarta saat pernikahan Ratih dan calon suaminya berlangsung. Dan bunda akan terus menyemangati Ibra, sampai putranya itu bisa lulus sarjana dan mewujudkan cita-citanya menjadi seorang akuntan serta mampu membanggakan nama keluarga dan almarhum ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DAN FILOSOFINYA
Romance"Ku dengar, cinta sejati selalu sederhana. Itulah sebabnya, aku ingin mencintaimu dengan sederhana" -Mutia "Jika kau tak temukan cintamu, biarkan cinta yang menemukanmu" -Arkan "Cinta adalah persahabatan. Kau sahabatku, cinta terbaik bagiku" -Kirana...