Bab 9

11.8K 1.8K 135
                                    


Nawang menyalakan air keran. Tangannya bekerja aktif sedang piring yang ia gosok sedari tadi cuma satu biji. Di tangannya melimpah busa, air mengalir dari keran cukup deras. Entah apa yang sedang di pikirannya sampai Aminah yang baru selesai memasak bergeser untuk mematikan aliran air.
"Wang... mbok jangan ngalamun kalau kerja."

Nawang tentu tersentak, ketika bahunya di tepuk keras. "Ibuk ini loh, bikin kaget."

"Kamu ngelamunin apa?"

"Anu... itu..." Nawang mendesis sekaligus berpikir mencari sebuah jawaban yang tepat. "Nawang tiba-tiba kepikiran sama bapak. Kapan kita pulang terus ziarah ya, Bu?"

Aminah tersenyum lega. Ia kira putrinya memikirkan lawan jenis. Nawang sehabis pergi ke supermarket beberapa hari lalu, sering melamun. Apalagi ia sempat khawatir ketika melihat Daniel, tuan muda mereka Nawang punya tatapan yang berbeda. Aminah cuma cemas jika putri semata wayangnya diam-diam menaruh hati pada pria yang pantang untuk di cintai itu. Mereka harusnya tahu diri, mereka bisa makan dan hidup sampai sekarang karena kebaikan Widuri. Jangan sampai malah lancang memimpikan bisa jadi nyonya di rumah ini.
"Besok pas lebaran, kan kita pulang kampung.".

Aminah menarik nafas berat ketika mengetahui anaknya belum selesai mencuci piring. "Biar ibu yang cuci sisa kerjaanmu. Kamu antar jus apelnya Mas Daniel. Dia lagi di kamar, kayaknya gak bakal sempet sarapan."

Dua bola mata Nawang berbinar cerah ketika nama Daniel di sebut dan seketika hati Aminah timbul rasa cemas luar biasa. Apalagi Nawang kini dengan semangat meletakkan gelas jus dalam nampan kecil. Sepertinya Aminah harus menasehati putrinya agar tahu posisinya berada.

Daniel sendiri yang masih di kamar bingung dengan otaknya. Ia menatap bungkus kotak gaun yang di belinya saat peragaan busana. Buat apa gaun bewarna biru ini, padahal Mutia saja tak tertarik dan tentu sang bunda tak mungkin memakainya. Lalu pandangannya berhenti pada sebuah undangan pernikahan yang membuat hatinya sedikit sakit. Tinggal dua hari resepsi Baby akan di gelar. Sebagai mantan harusnya tak usah datang tapi sebagai lelaki, Daniel harus gentel. Hadir di pernikahan Baby, Naik panggung lalu memberinya kado dan ucapan selamat. Andai semuanya semudah itu.

Tok... tok... tok

"Masuk." Daniel langsung mendorong kotak gaunnya ke bawah bantal ketika ada seseorang mengetuk pintu.

"Mas, ini jusnya."

"Taruh aja di situ." Perintahnya tanpa melihat muka jelek Nawang di pagi hari. Muka sialan gadis polos itu selalu menghantuinya siang malam. Nawang setelah menaruh jusnya di atas meja malah masih berada di dalam kamar Daniel, belum beranjak pergi.

"Mas masih butuh sesuatu? Misal nyiapin baju, sepatu atau kaos kaki?" Daniel jengah, ia memutar tubuhnya menghadap babu yang tak tahu diri ini.

"Lo gak lihat, gue udah dandan rapi!"

Nawang menunduk kecewa, nada bicara Daniel begitu kasar. Sama seperti saat mereka bertemu pertama kali. Kalau dulu Nawang membiasakan diri tapi kini, Kenapa hatinya terasa sakit?

"Kalau gitu ya sudah saya mau balik ke dapur." Air mata Nawang menetes. Ia tak tahu apa yang terjadi. Harusnya Nawang tak menangis hanya karena masalah sepele. Daniel itu semena-mena, bukannya sudah biasa? Daniel gemar memerintah, serta bicara kasar. Bukannya sudah tabiatnya? Kenapa hatinya tiba-tiba merasakan sesak luar biasa.

Daniel yang melihat Nawang menutup pintu langsung merosot kembali duduk di atas ranjang. Kenapa menatap sorot kecewa gadis kampung itu hatinya teremas samar? Kesalahan ada padanya, ia yang mendekati Nawang duluan. Ia yang secara tak sengaja selalu memikirkan si babu. Kenapa Daniel yang harus marah?

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Entah kenapa seharian ini Daniel tertimpa sial. Pameran terpaksa di undur karena banjir. Salah satu investor mundur karena terlibat skandal dan beberapa sponsor pameran, mengundurkan diri karena rencana pameran yang di tunda dan di pindah tempat. Semua masalah hinggap di kepalanya yang siap meledak. Kalau dulu ia akan lebih senang menyendiri lalu mengisap rokok atau main sebentar ke Club tapi kini karena sayang dengan raganya yang belum menghasilkan penerus, Daniel menahan keinginannya itu.

My upik babuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang