DIAA-6

7.1K 528 14
                                    

Sabina menghela napas panjang saat Brent tetap kukuh untuk mengantarkannya pulang sementara ia tidak bisa beralasan lagi.

"Na, gimana kalau pulang kita mampir dulu beli sesuatu?" ajak Brent, mereka melangkah beriringan menuju ke kelas. Sabina melangkah sambil menunduk karena terlalu takut dengan tatapan murid lain. Apalagi murid cewek.

"Hm, lihat nanti aja ya Brent," jawabnya.

Brent menghentikan langkah. "Lo jangan nunduk gitu lah, Na. Lo malu sama mereka semua?" tebak Brent.

Sabina berhenti, dia pelan-pelan menegakan kepalanya, lalu mengangguk pelan. "Ayo ke kelas aku nggak mau dilihatin, Brent."

Brent mengamati sekeliling, benar mereka memerhatikan interaksinya dengan Sabina. Resiko most wanted. Ketika dekat dengan orang baru pasti menjadi sorotan.

Tanpa izin Brent menggenggam tangan Sabina dan menarik gadis itu untuk pergi ke kelas.

***

Belum berjalannya proses belajar mengajar, membuat Elang, malas berada di kelas. Tapi tidak membuatnya memilih tempat lain sebagai tempat untuk berdiam diri. Kelas selalu menjadi tempat favoritnya.

Rasa ingin pulang semakin menjadi-jadi, sebenarnya dengan mudah ia bisa membolos. Tapi, senakal-nakalnya Elang, tidak pernah sekalipun ia membolos sekolah. Semua tugas selalu ia kerjakan, tidak pernah absen kelas apalagi membolos. Sebenarnya, ia adalah defenisi good boy.

Ada banyak hal yang membuat Elang seperti itu. Salah satunya,  ia malas untuk selalu diancam oleh kedua orang tuanya. Sang pengatur hidupnya. Mereka selalu mengatur atas apa yang akan ia kerjakan.

Ya, mereka adalah pemilik hidup Elang. Segala sesuatu bedasarkan kemauan mereka. Meski  ada beberapa kegiatan berasal dari kemauannya sendiri. Jujur saja, ancaman-ancaman mereka kadang membuatnya jengah, tapi menolak sama saja menjatuhkan diri ke dasar jurang.

Tidak pernah ingin terlahir dari keluarga kaya, meski begitu Elang juga tidak ingin terlahir dari keluarga kurang mampu. Ia melakukan apapun yang orang tuanya mau agar fasilitas yang mereka berikan tidak diambil kembali. Ya, sesimple itu tapi ia benar-benar tertekan.

Terkadang, ia berpikir ternyata presepsi orang-orang di luar sana yang menganggap bahwa anak orang kaya selalu hidup enak, itu salah. Mungkin dalam hal finansial itu dibenarkan. Tapi, harus diingat, untuk mendapatkan itu semua, Elang harus mengorbankan kebebasannya.

Ya, kebebasan yang sangat disukai oleh anak remaja.

Clarista belum kembali ke kelasnya. Gadis itu memang menjadwalkan diri untuk menemani Elang di saat jam istirahat. Tapi tak jarang juga Clarista lebih memilih berkumpul di kantin bersama temannya dan jarang sekali Elang ikut.

"Sayang, kamu jangan diem aja dong ...," rengek Clarista. Ternyata gadis itu bosan juga menemani Elang yang menjadi patung sejak makanan mereka habis.

"Kamu ke kelas aja," usir Elang terdengar halus tapi suaranya datar apalagi ekspresinya. Kelas Clarista tidak jauh dari kelasnya,  satu lantai dengan kelas Elang. Clarista yang memilih jurusan IPS sempat ingin berpindah jurusan agar satu kelas dengan Elang atau setidaknya bisa satu kelas dengan suaminya itu. Tapi, karena peraturan sekolah yang begitu ketat, Clarista tetap berada di jurusan IPS.

Dua Istri Abu-abu(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang