DIAA-10

6.1K 521 14
                                    


"Kak, makasih ya. Udah nolongin aku waktu masuk ke kolam renang." tutur Sabina setelah keterdiaman mereka beberapa saat akibat perlakuan Wiliam yang mengacak-acak rambut Sabina tanpa izin.

"Gak usah bilang makasih. Lagian, kenapa kamu bisa jatuh?" tanya Wiliam cukup penasaran.

Menghela napasnya, ia bukan tipe gadis pelapor. "Kepleset, Kak." jawab Sabina sambil terkikik geli, seolah menertawai ulahnya sendiri.

Tatapan mereka bertemu, "lain kali hati-hati, ya." ujar Wiliam diangguki oleh Sabina sambil tersenyum.

Sementara itu, di lain tempat. Elang terus memperhatikan dua orang yang saling berinteraksi itu. Memperhatikan mereka dari balik jendela kamarnya sambil berdiri.

Ia, tidak cemburu pada kedekatan dua orang itu. Tapi rasa marah, menyerbu hatinya. Marah pada Sabina, semua orang sepertinya ingin gadis itu curi hatinya. Termasuk kakaknya yang sudah punya istri.

Meski tidak akrab. Tapi, Elang tidak akan pernah rela kakanya itu digoda oleh gadis seperti Sabina.

Dua tangan melingkar manja di lehernya. "Sayang, kamu lihatin mereka terus. Cemburu?" tanya Clarista sambil mendekatkan pipinya pada pipi Elang.

Elang melepas tangan Clarista dari lehernya, "gak." jawab Elang singkat. Berlalu menuju ranjangnya dan merebahkan diri.

Clarista mengikutinya, "bagus deh." Lalu duduk di samping suaminya itu.

"Setelah dua bulan pernikahan, aku harap kamu cerain Sabina." pinta Clarista selalu dengan intonasi manja. Cowok manapun pasti akan tergoda dan luluh.

"Aku harus nunggu persetujuan mama." jawab Elang dengan mata terpejam.

Memainkan satu tangan Elang, "kenapa sih, mama terus!" kesal Clarista menyentak tangan Elang keras-keras.

Hal itu membuat Elang bangkit, menatap Clarista yang cemberut dalam diam. Dengan tiba-tiba, Elang meraih kepala gadis itu, lalu mendekapnya. "Maafin, aku. Aku gak bisa berbuat banyak." ujar Elang merasa bersalah.

Titik terlemahnya, ketika permintaan Clarista sulit untuk dipenuhi. Elang tidak mungkin menceraikan Sabina, sedangkan gadis itu adalah alasan dirinya masih diterima di rumah ini.

Clarista mendongak, menatap Elang manja. "Harusnya kamu tau, apa yang gak aku suka. Dan, harusnya kamu bisa nurutin apapun kemauan aku." tutur Clarista sesaat kembali menyembunyikan kepalanya di dekapan Elang.

Menghela napas, Elang tidak menjawab perkataan Clarista. Menatap keluar jendela, mengamati langit yang mulai menggelap. Dua orang yang berada di sana pun, sudah mulai beranjak. Dengan tawa sesekali mengiringi langkah keduanya.

Bersamaan itu pula, jemari Elang terkepal kuat-kuat. Matanya memang teduh, tapi tetap memberikan kilatan menakutkan bagi siapa yang melihat.

....

Belajar, meski proses belajar mengajar di sekolah belum di mulai. Setidaknya, beberapa materi pelajaran harus ia kuasai lebih dulu. Agar semuanya mudah.

Menghela napas, di meja belajarnya sudah ada laptop, buku paket, buku tulis dan segala antek-anteknya. Sabina segera membuka buku paket pelajaran Matematika. Ia cukup suka dengan pelajaran itu.

Kepalanya bertopang pada tangan, membaca dan mencoba memahami rumus-rumus tentang limit dan sebagainya.

Ternyata belajar beberapa puluh menit, membuat mata Sabina mulai mengantuk. Segera Sabina menutup buku yang dibacanya. Sayang seribu sayang, ketukan pintu dengan tidak sabaran membuatnya segera menuju pintu dengan mengernyit.

"Sebentar," ujarnya.

Sabina mematung di tempat setelah pintu di di depannya terbuka dan menampilkan Elang yang menatapnya penuh murka.

Dengan tiba-tiba, Elang mendorong Sabina masuk ke dalam kamarnya. Mencengkeram pipi Sabina dengan jari tangannya. Elang menyudutkan gadis itu di tembok.

"Jangan, deketin Kak Wiliam!" ujar Elang penuh murka. Bahkan matanya berkilat karena amarah. Rahangnya yang tegas itu semakin dibuat tegas karenanya. Belum lagi, gigi Elang yang bertautan hingga menimbulkan bunyi.

"Sakit!" Sabina menyentak tangan Elang, cengkeraman cowok itu tidak bisa terlepas.

Semakin menekan jari-jarinya pada pipi Sabina, Elang menatap diam dengan tatapan tajam.

"Sakit!" ujar Sabina susah payah.

"Gue gak akan biarin lo deketin kakak gue!" Elang berujar dengan kepala mendekat pada Sabina, berbisik tapi penuh penekanan.

"Jalang!" bentak Elang setelah melepas kasar tangannya hingga Sabina sedikit tersentak.

"Lo gak akan tenang." tutur Elang lalu meninggalkan kamar Sabina.

Terisak, Sabina terduduk setelah kepergian Elang. Matanya sudah mengalirkan air hingga membasuhi pipi. Sabina merasa hatinya hancur, Elang mengatainya sebagai jalang.

Padahal, niatan untuk mendekati Kak Wiliam tidak pernah ada dipikirannya. Tidak pernah terniatkan sebelumnya. Ia hanya ingin hubungan kakak dan adik ipar berjalan sebagai mana mestinya.

Lagi pula, tidak bolehkah ia sekedar bercengkerama dengan Kak Wiliam?

Sabina yakin, Elang pasti melihat interaksinya bersama Kak Wiliam di taman belakang rumah. Tapi, mengapa cowok itu marah padanya?

Apa Elang cemburu? Itu tidaklah mungkin.

Sabina mendekat pada ranjangnya. Memegang pipi yang dicengkeram oleh Elang dengan kuatnya. Ia yakin, ini pasti akan meninggalkan bekas. Tulang pipinya seakan sakit juga karena itu.

Menghembuskan napasnya, isakan kecilnya sudah tidak terdengar. Sudah berhenti, Sabina segera mengusap pipinya. Mendekat pada kaca, ia memperhatikan pipinya. Masih merah.

Disentuh pelan saja, rasanya sakit. Ini pasti akan memar, lalu besok bagaimana ia menyembunyikannya dari Bu Erika? Pasti wanita itu akan melihat ini.

....

Hai, DIAA IS BACK!

Tetap tinggalkan Vote ya untuk cerita ini, bersedia kan?

Satu dukungan dari kalian sangatlah berharga, wkwkw :v

Terimakasih untuk kalian siapapun itu.

Share cerita ini, ke teman, dan sosial media kalian. Ajak mereka untuk membaca cerita yang sama. Oke?

Tunggu update-an cerita ini, ya!

Ig : rizkamursinta31
Wp : Zaynriz

Best regards

Zaynriz

Dua Istri Abu-abu(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang