DIAA-11

6.4K 521 11
                                    

Perdebatan kecil sudah hampir tiga kali Sabina menyaksikan hal itu selama tinggal di rumah Pak Susiono.

Dulu, ia selalu berpikir, jika keluarga Pak Susiono dan Bu Erika sangatlah harmonis. Mengingat, apapun dapat mereka beli. Tapi harusnya perlu di ingat juga, bahwa memiliki segalanya belum tentu menjamin kebahagiaan.

Terkadang Sabina berpikir, apa semenjak dirinya datang ke rumah ini perdebatan terjadi. Masalahnya, perdebatan itu selalu memunculkan namanya. Entah sebagai korban atau sebagai pelaku.

Sabina terus membujuk Pak Susiono untuk tidak menyalahkan Elang sepenuhnya atas memar di bagian pipi miliknya. Gadis itu tidak mengadu, hanya saja ... kedua orang tua Elang seakan pintar mencari si pelaku.

Pak Susiono sudah naik pitam di hari yang masih sepagi ini. Bu Erika pun sama, meski begitu wanita itu tidak bisa memarahi anaknya sedemikian. Ibu tetap ibu, menyayangi anaknya dengan tulus. Tapi, Bu Erika juga tidak terlihat membela anaknya.

Apa yang dilakukan wanita itu sangatlah adil. Tidak memihak pada siapapun. Pak Susiono bukannya tidak adil, pria itu mencoba memberi contoh agar menjadi pria yang tegas dan dapat bersikap. Lagi pula, apa yang dilakukan Elang memang salah. Bermain fisik pada perempuan, adalah sebuah kepengecutan sangat nyata.

Sarapan kali ini gaduh, Wiliam dan Clarista hanya diam. Mereka bedua memang tidak tahu harus apa. Sang kepala keluarga pula sedang berbicara, tidak mungkin mereka menyela.

Kemungkinan dalam pikiran Clatista ingin sekali membela Elang. Bibirnya mungkin serasa gatal, karena sepatah kata masih terkunci rapat-rapat dalam mulutnya. Jika tidak sekarang, mungkin kalimat-kalimat itu  diberikan pada Sabina nanti. Ya, mungkin saja.

"Papa bilangi kamu sekali lagi! Sebagai laki-laki harusnya kamu tidak boleh melukai perempuan. Di mata papa, kamu rendah sekali!" ujar Pak Susiono tegas.

Sabina tau, Elang tidaklah takut akan itu. Cowok itu hanya suka mengatupkan bibirnya rapat-rapat ketimbang membahas hal yang menurutnya tidak penting.

Mengangkat bahunya acuh, Elang mengalihkan pandangannya.

"Sekali lagi kamu melakukan ini, baik pada Sabina ataupun Clarista atau perempuan lain. Jangan harap papa akan menoleransinya."

"Tanganku gak akan ngelukai Clarista," jawabnya.

"Sejak kapan kamu melawan papa?!" bentak Pak Susiono. Kami semua yang sedang berdiri semakin terpaku di tempat masing-masing.

Pak Susiono semakin geram, saat Elang menanggapinya dengan berdecih. Cowok itu seakan tidak punya sopan santun lagi.

"Ingat. Bulan ini, semua fasilitas yang kamu miliki papa sita. Sampai kamu benar-benar berubah atau setidaknya kamu bisa berbuat adil sama kedua istri kamu," Pak Susiono sudah mulai melembut ucapannya. Pria itu mwndudukan dirinya dan diikuti oleh yang lainnya.

Semua, cukup terkejut akan penuturan Pak Susiono. Mereka semua tau, jika Elang tidak bisa tanpa semua fasilitas yang kedua orang tuanya berikan. Tapi, anehnya, mengapa Elang diam saja. Apa cowok itu bisa menerima semuanya? Padahal, tidak dengan Clarista. Gadis itu terlihat terkejut sekali. Bagaimanapun, Clarista menyukai semua apa yang Elang punya.

"Oke. Elang setuju. Tapi, Elang akan nyerain dia!" ujar Elang menunjuk Sabina.

"Kamu gila?!"

"Loh, bukannya papa yang mau itu terjadi kan? Lagian, dulu Elang nikahin Sabina supaya semua fasilitas yang papa kasih jadi hak milik Elang sepenuhnya. Jadi, kalau papa bersikukuh, buat ngambil semua fasilitas aku. Berarti aku punya hak untuk ceraiin dia!"

.....

Seperti hari sebelumnya, Sabina menunggu Brent di halte. Sempat memberi tahu cowok itu untuk menjemputnya di sana saja.

Dua Istri Abu-abu(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang