DIAA-7

5.8K 493 9
                                    

Sebenarnya, Elang malas pulang ke rumah. Tempat itu bukanlah tujuannya. Ia ingin pergi ke tempat skate in door yang tak jauh dari rumahnya, ingin menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya di sana. Itu salah satu cara ia mengusir penat. Tapi,  sayang sekali, Clarista justru memaksanya untuk kembali ke tempat yang katanya bernama rumah namun baginya itu sangkar. Tempatnya dikurung dan menuruti semua aturan.

Bukan hanya malas, ia juga memang dengan  sengaja menghindari ibunya. Ia sudah tau jika Sabina tidak pulang dengannya maka akan ada banyak pertanyaan yang ibunya berikan.

Masa bodoh dengan Sabina yang akan pulang sendirian. Toh, itu juga bukan salahnya karena Sabina memang mau pulang dengan lelaki lain.

"Elang, Sabina mana?" Dugaan itu benar. Jika tidak salah, itu adalah suara ibu Elang.

Tepat di lorong kamar kakinya dan milik Clarista berhenti. Mereka berdua tidak menoleh, sudah memprediksi hal apa lagi yang akan terjadi selanjutnya.  

"Gak tau,"  jawab Elang singkat, bahkan ia tidak menolehkan kepalanya se sentmeter pun. Dari ekor matanya, Elang dapat melihat Clarista yang sedang menggigit bibir bawahnya. Gadis itu terlihat ketakutan.

Terdengar suara langkah mendekat.  "Jangan bilang kamu tinggalin dia, Lang?" 

Elang dan Clarista langsung menatap ibunya, yang sudah berada di depan mereka. Tatapan Bu Erika yang mengarah ke genggaman tangan mereka berdua membuat Elang menarik tangannya perlahan, genggaman mereka  berdua terlepas.

"Nggak, Ma," jawab Elang, sambil  membuang muka.

Elang hampir sembilan belas tahun tinggal dengan ibunya, tapi entah mengap mereka berdua seperti tidak  memiliki koneksi satu sama lain. Elang dan Bu Erika bahkan terlihat seprti orang asing.

Jawabannya mudah saja, ini semua karena ibunya itu seakan selalu memaksa kehendaknya. Selalu meminta Elang untuk menjadi A, menjadi B dan apapun yang ibunya mau. Sayangnya, ibunya tidak tau,  bahwa paksaan-paksaan itulah yang membuatnya menutup diri dari keluarga, memberontak, hingga menjadi berandalan saat berada di luar.

Sesuatu yang ditekan berlebihan, biasanya akan keluar dari jalurnya, dari yang seharusnya. Anggap saja Elang seperti itu.

Satu jari telunjuk Erika sudah berada di depan wajah Elang. Sudah biasa, ibunya ini memang selalu begitu, menaruh rasa curiga, curiga dan curiga. Tidak ada kepercayaan sedikitpun yang coba ibunya bangun. "Kamu jangan bohongin Mama, ya Lang. Kasih tau Mama di mana Sabina? Atau jangan-jangan kalian bener-bener tinggalin Sabina di sekolahan?!" 

Kebungkaman Elang membuat Erika menoleh ke arah Clarista dan menyorot gadis itu dengan tatapan tajamnya.

Clarista tidak bisa menatap lama wanita di depannya. Nyalinya langsung menciut seketika karena rasa takut walaupun di sampingnya ada Elang yang pasti akan membelanya kalau mertuanya sampi memarahinya. "Kita berdua nggak tau, Ma. Kita pulang duluan karena kita juga nggak ketemu Sabina, iya kan, Lang?" Clarista menoleh ke Elang, suaminya itu diam saja.

Telunjuk Erika sudah diturunkan, menatap bergantian Elang dan Clarista dengan tangan terlipat di depan dada.  "Kla, mending kamu masuk ke kamar. Ada hal penting yang mau Mama omongin sama Elang,"  titah Erika, dengan ragu-ragu Clarista memasuki kamarnya.

Hening beberapa detik.

"Elang, kamu jangan coba bohongin Mama, ya! Di mana Sabina?!" 

"Kenapa Mama nggak percaya sama Elang?"

"Kamu terlalu pembohong kalau harus dipercayai, Lang!"

Sakit.Itulah kata yang bisa mendefinisikan hati Elang saat ini. Bagaimana bisa ibunya menganggap dirinya sebagai seorang pembohong? Apa perlu ia bicara bahwa Sabina pergi dengan laki-laki lain? Dapat dipastikan kalau ia yang menjelaskan seperti itu, ibunya tidak akan percaya, dan dia akan semakin dianggap sebagai pembohong.

Dua Istri Abu-abu(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang