jjk, you are what you eat

422 54 36
                                    

Jeon Jungkook itu malapetaka.

Bukan, bukan wajah atau sikapnya--itu sih jelas sempurna. Yang aku bilang malapetaka adalah bagaimana cara ia mengatur kehidupannya.

Hari itu Jungkook dibuat mabuk oleh teman-temannya. Pukul sebelas malam, aku ditelepon oleh Kim Taehyung. Katanya Jungkook berkali-kali melantur menyebut namaku dan karena hanya aku yang tahu kata sandi apartemennya, Taehyung memintaku membawanya pulang. Barnya cukup jauh dari Seoul, perjalanan yang seharusnya dua jam kubabat habis dalam kurang dari satu jam karena sungguh, aku mengkhawatirkan lelaki itu.

Tiba di sana gelap. Menelpon Taehyung dan kelima temannya yang lain hanya untuk mendapati suara operator wanita sialan, aku kalut. Maksudku, Jungkook baru delapan belas. Terdaftar sebagai penduduk tetap Korea Selatan tidak serta merta membuatnya menjadi dewasa--jelas hanya validasi angka karena sejatinya Jeon Jungkook itu masih anak kelas tiga. Tengah malam dalam kawasan kios-kios remang yang memancarkan bau busuk sisa makanan, aku benar-benar kehabisan akal. Tepat sebelum kutekan panggilan darurat polisi, netraku samar-samar menatap siluet seseorang dalam kegelapan.

Itu Jeon Jungkook, tengah bersandar pada dinding gang mengelupas dengan setitik kesadaran terakhir yang dimilikinya.

Kuhampiri lelaki sialan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kuhampiri lelaki sialan itu. Pertama, kucubit pinggulnya--ia mengaduh dan menggeliat geli. Menjitak kepalanya sebelum menyeretnya ke mobil, pelan kudengar lelaki itu menyamakanku dengan macan. Kukira ia bakal sadar diri setelah kuhempaskan tubuhnya ke jok sebelahku, tapi satu-satunya hal yang dilakukannya dalam perjalanan pulang adalah mengocehkan hal-hal aneh seperti pizza, susu pisang, tortilla, tacos, kelas bahasa Inggris, tolong-tambah-segelas-lagi-Bu, juga namaku--mungkin hal-hal yang disukainya, aku tak tahu dan tak mau tahu karena dapat kurasa beberapa saraf otakku mulai mengendur dari sambungannya. Gosh, ingin rasanya kudepak lelaki ini jauh-jauh kalau saja bukan ia tujuanku.

Tiba di basement apartemennya saat jarum jam panjang nyaris menyentuh angka dua, aku harus terseok-seok menggeretnya ke lantai tujuh. Tiba-tiba lelaki ini menjadi sepuluh pon beratnya dan tidak mau sedikitpun meringankan bebanku. Sambil tersengal, aku menekan empat digit tanggal dan bulan lahirku pada kunci pintu digital di pintu apartemennya. Pintu berderit terbuka dan aku merebahkan tubuh sialannya di sofa. Bahkan saat tidur, pun, Kook, kau tetap sangat menyebalkan.

Sedikit mengejutkanku ketika tiba-tiba suaranya lirih terdengar. Katanya, "Jangan pulang ..."

Aku memutar bola mata. Berniat melenggang pergi tepat sebelum tangannya erat menggenggam pergelanganku. Ia mendongak, matanya berkaca-kaca tanpa alasan, memohon dengan suaranya yang berantakan. "Jangan ..."

Brengsek. Satu-nol untuk Jeon Sialan Jungkook.

"Aku pulang pukul tiga."

"Enggak ..." ia mendudukkanku di sofa dengan satu tangannya--proposal benar-benar mengacaukan berat badanku, ternyata--, bergerak naik meletakkan kepalanya di pahaku lantas menggeliat sebentar mencari kenyamanan sebelum kembali pejam kedua matanya. Dengkuran lirih terdengar di menit selanjutnya dan aku tersadar keputusanku salah untuk mengalah: karena kini pukul setengah tiga pagi, aku sendirian dalam remang apartemen Jungkook yang beraroma seperti kopi, dijauhi rasa kantuk yang biasanya tak mau renggang, dan kakiku mulai bergetar; meremang.

Melihatnya lelap, aku tak tahan untuk tidak mengatainya menyebalkan.

"Terimakasih, noona."

Ah, belum tidur, ya.

"Kau merepotkan sekali, Jeon."

Ia tidak menjawab.

"Jangan diulangi. Kau itu baru delapan belas."

Tidak ada jawaban lagi, tapi aku tahu Jungkook masih tersadar.

"Aku cemas."

Matanya masih terpejam, tapi kali ini ia menjawab. "Terimakasih, noona."

"Kau jelas sudah kehilangan akal saat mengiyakan ajakan Taehyung untuk pergi ke bar di Busan, kan? Tak habis pikir. Laki-laki memang bodoh, dangkal, pemikiran pendek. Kau juga, tentu, karena kau laki-laki. Setidaknya pikiran caramu pulang, Kook. Bayangkan kalau aku tidak ada. Bayangkan aku harus menelepon Mamamu untuk menjemputmu. Bayangkan kalau kau harus sendirian di sana sementara teman-temanmu lenyap entah kemana. Orang jahat ada dimana-mana, Kook. Kau belum dewasa, jadi to--"

"Kau mulai bicara seperti Mama. Menyebalkan."

"Kau pantas kena marah."

"Aku sudah delapan belas."

"Kau baru delapan belas."

Jungkook terkekeh sebentar untuk kemudian menyisakan segurat senyum kecil di wajahnya. Menatapku, ia lantas berujar. Nadanya serak dan pelan, jelas serius. "Terimakasih sudah menjagaku, noona."

Aku tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku menyayangimu."

"Tidak perlu sok keren, Kook."

"Tidak, tidak. Serius. Aku menyayangimu. Teramat sangat."

Jungkook jarang bilang cinta. Aku tidak terbiasa mendengar pengakuan cinta. Aku benar-benar tidak tahu harus membalas apa jadi tanpa berpikir aku mengatakan satu-satunya hal yang melintas dalam kepala. "Lihat. Kau makan apa saat mabuk? Kau jadi seperti babi."

Jungkook menaikkan satu alisnya.

"You are what you eat, Kook."

Senyum kecilnya melebar dan aku langsung tahu kalimatku salah total.

Ia bertanya dengan nada retoris. "So, i am you?"

Pertanyaannya menjadi samar kala kurasakan bibirnya mengecup milikku.

Dua-nol lagi-lagi untuk Jeon Sialan Jungkook.

[ ]

cerita-cerita yang tak punya tujuan pulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang