bts, senang

163 22 38
                                    

WARNING: 2900 words. Do not read if you dont want to.

I write what i want and finished it for the first time.

Kamu nggak jadi pulang. Soalnya perutmu bertambah lapar dan kepalamu masih penuh sama odeng. Kamu tahu gerainya tutup, jadi kamu nggak kembali kesana dan pilih langkahkan tungkaimu ke kedai kesukaanmu yang lain. Bedanya, kedai ini jual daging dan kamu pikir itu agak lebih layak daripada kue ikan. Kamu juga pikir untuk menghargai satu bulan kerja kerasmu dengan mentraktir daging sama soju buat dirimu. Jadi, kamu masuk ke gerai remang-remang yang sudah jadi favoritmu dari tujuh tahun lalu. Sedikit terkejut ketika dapati empat meja disana masih kosong dan sama dengan saat terakhir kunjunganmu. Senyum ahjumma Jeon juga masih rayu dan lucu, bedanya kini ada kerut tipis di ujung bibirnya yang nggak pernah sendu. Kamu jadi ingat kalau ahjumma sudah bersama daging-daging sapinya dari umur dua puluh satu, dan padahal pendapatan perharinya tidak pernah jadi sesuatu yang cukup buatmu, gerai kecilnya tetap berdiri tegak diantara prasmanan-prasmanan raksasa yang sapinya alot dan kematangan.

Dari dapurnya yang berasap, ahjumma Jeon keluar saat lonceng bergemerincing ketika kamu dorong pintu kayunya. Katanya dengan mata yang ikut tersenyum, "Aigoo, coba lihat siapa yang datang!"

Kamu tertawa. Membalas beberapa pertanyaan lucu ahjumma sebelum memesan dan duduk. Malam itu pembelinya cuma kamu, mungkin karena sudah tunjuk angka dua belas jarum jam di dinding itu, tapi kamu juga yakin pembelinya cuma kamu meskipun itu siang di hari Minggu. Kamu juga nggak habis pikir, padahal masakan ahjumma itu enak dan tempatnya nggak bau sama sekali. Kamu lebih nggak habis pikir kenapa ahjumma Jeon nggak mau nyerah sama gerai kecilnya yang sepi ini padahal dia bisa saja daftar jadi koki. Tapi, ya, sudah, sih. Terserah ahjumma saja, asal pintunya masih terbuka kapanpun kamu butuh makanan enak, kamu nggak keberatan. Saat ahjumma antarkan daging dan soju dengan satu mangkuk nasi traktirannya, ponselmu berdering dan kamu jadi kepingin marah. Mau makan dengan bahagia saja harus diingatkan sama proposal dan laporan bulanan yang tenggatnya masih minggu depan.

Layar itu berkedip dan berdenting tiap beberapa detik. Notifikasi menyebalkan dari kolega-kolega yang nggak kalah mengesalkan. Belasan pesan singkat tolong-bantu-aku-dong atau kerjakan-bagianku-ya yang bikin panas sirkuit internal. Dari belakang, pintu berdenyit terbuka dan lonceng bergemerincing, tapi kamu nggak peduli karena sibuk dengan sunbaenim-sunbaenimmu yang memuakkan. Baru selesai balas yang satu, satunya minta tolong bantu kerjakan. Rasanya kayak kamu satu-satunya orang di perusahaan mentang-mentang kamu dari negeri yang jauh dan cuma karyawan magang. Tadi, orang yang baru masuk, kayaknya kumpulan mahasiswa cowok yang lagi kepingin mabuk. Gelegar tawa dan derap berisik mereka buat kamu tambah jengkel. Kamu nggak tahan lagi dengan riuh rendah mereka, jadi gelanggang dalammu yang sudah panas akhirnya meledak dengan kamu yang teriak "Ah!" keras-keras.

Kamu meringis ke ahjumma Jeon yang sampai keluar dari dapurnya, geleng-geleng lihat kebiasaanmu yang nggak ubah dari dulu. Setelah ahjumma kembali masuk, niatmu kirimkan ringisan lain ke cowok-cowok di belakangmu sebagai permintaan maaf sudah ganggu apapun yang sedang mereka kerjakan. Lantas kamu menengok dengan harap-harap cemas bukan preman atau gangster yang ada di hadapan.

Tapi alih-alih meringis, kamu justru kepingin menangis.

Nggak mungkin.

Nggak mungkin itu mereka.

Nggak mungkin itu mereka yang dulu buat bahagia hari-harimu.

Nggak mungkin itu mereka yang dulu jadi bagian hidupmu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

cerita-cerita yang tak punya tujuan pulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang