myg, enggak boleh menangis

287 51 35
                                    

Kala itu, kamu sedang bahagia.

Ketujuh abang-abangmu baru pulang dari urusan aneh mereka masing-masing. Setidaknya membawakanmu dua puluh sembilan buah tangan kalau ditotal. Sudah begitu, kamu diajak jajan odeng sampai perutmu nyaris meledak. Di bawah rembulan yang temaram, kamu dipaksa bercerita tentang hari-harimu setahun belakangan. Kalau tidak salah, kamu dan abangmu pulang pukul sebelas, naik mobil dan Jung-gogie yang menyetir! Eh, atau dua belas, ya? Ah, enggak tahu. Lupa. Pokoknya, hari itu, kamu adalah adik kecil paling bahagia di alam semesta.

Kemudian, pagi-pagi buta dahaga menyerangmu. Niatmu pergi ke dapur untuk segelas air, tetapi yang kamu dapati adalah suara cekcok abang-abangmu dari ruang televisi. Kamu tahu benar Bu Guru melarangmu menguping pembicaraan. Tapi kaki kecilmu lantas mengendap-endap, kamu pura-pura lupa. Meski hanya dari balik pintu, kamu tahu ada yang berbeda dari abang-abangmu. Kamu tahu ada yang berbeda dari mereka. Sesuatu yang ... kemarin Bu Guru bilang apa, ya? Ah, marah. Mereka jelas sedang marah.

Kamu masih terlalu kecil saat itu. Satu-satunya hal yang bisa kamu tangkap dari rungu mungilmu hanyalah kata "Sialan" yang pernah kamu dengar terucap dari Ahjussi Penjaga Sekolah. Kamu yang penasaran lantas menggeser posisimu untuk melihat lebih jelas.

Kamu belum cukup dewasa untuk mengerti marah itu apa, tapi kamu langsung tahu itu bukanlah hal baik kala netramu terpaku pada Abang Yoongi yang sedang mencengkeram erat kerah kemeja Jung-gogie.

Kamu tidak tahu harus bagaimana. Kata Bu Guru, itu namanya perkelahian. Bu Guru hanya bilang begitu. Ia tak pernah memberi tahu apa yang harus kamu lakukan kala menyaksikan dua abangmu mulai berkelahi satu sama lain. Ah, iya. Bu Guru bilang, panggil orang dewasa. Oke, orang dewasanya semua sudah ada di depan mata.

Tapi kamu heran kenapa tidak ada satupun dari mereka yang berusaha melakukan sesuatu.

Kamu mulai gemetar. Jung-gogie tidak terlihat baik. Abang Yoongi terlihat seperti singa. Lima abangnya yang lain hanya diam saja. Seharusnya lakukan sesuatu, 'kan? Kau tidak bisa diam saja saat ada singa di rumah, 'kan?

Kamu tahu kamu penyelundup, jadi kamu hanya bisa menahan teriakmu ketika melihat Jung-gogie ambruk ke lantai. Samar, tapi kamu bisa melihat sesuatu memerah di parasnya. Darah! Jung-gogie berdarah! Kamu benar-benar panik tapi tak bisa bergerak barang satu senti. Kamu tahu di mana letak obat untuk mengobati darah, kamu tahu caranya, tapi kamu tidak bisa melakukannya. Yang kamu bisa lakukan hanya tetap diam menyaksikan Abang Yoongi kembali melayangkan tangannya pada Jung-gogie hingga ia tertidur. Tertidur? Harusnya tidak. Kamu tidak bisa tertidur saat wajahmu terluka.

Aduh! kamu ingin berteriak. Abang Joon, Jung-gogie berdarah! kamu ingin bilang begitu sambil menarik-nari ujung kaos abangmu tersayang. Tapi lagi-lagi tidak bisa! Kakimu seperti diikat tali temali. Kemudian dengan pupil kecilmu kamu melihat Abang Yoongi menghela napas berat seolah-olah ia habis menggendong gajah. Abang Yoongi lantas beranjak keluar, dan kamu tahu kamu tidak boleh ketahuan. Kakimu sekarang bisa digerakkan dan kamu berlari secepat dan sepelan yang kamu bisa. Tapi dari belakang, kamu mendengar Abang Yoongi memanggilmu dengan suaranya yang terdengar menyedihkan. Katanya, "Jena ..."

Kamu menghentikan langkah kakimu. Berbalik takut-takut. Kamu kira kamu akan melihat singa, tapi yang ada dihadapanmu justru kucing beraut sedih seperti baru kehilangan salah satu anaknya. Kamu mendekat ke Abang Yoongi. Memeluk kakinya karena hanya itu bagian tubuhnya yang bisa kamu jangkau. Kemudian kamu bisa merasakan Abang Yoongi menggendongmu, langkah kakinya membawamu ke kamar. Di ruang televisi ... Abang Tae sedang membantu mengobati Jung-gogie. Ah! Terimakasih, Abang Tae! Rasanya kamu ingin memeluk Abang Taehyung sampai kehabisan napas.

Tiba di kamar, Abang Yoongi meletakkanmu di ranjang. Ia tak beranjak pergi seperti yang seharusnya. Kamu mulai berpikir ada yang salah pada Abangmu. Bu Guru bilang, kalau ada yang salah harus diperbaiki. Maka kamu, dengan sisa keberanian dalam dirimu, bertanya pelan sambil menundukkan kepalamu. "Abang ... kenapa?"

Abang Yoongi tidak lantas menjawab. Kamu kira setelah menjadi singa, Abang Yoongi kehilangan pita suara. Kamu sudah menghitung hingga detik ke seratus tiga puluh satu dan Abang Yoongi masih diam seperti batu. Tetapi sebelum kamu bertanya kembali, Abang Yoongi terlebih dahulu memelukmu. Erat. Teramat sangat. Dan kamu tahu jelas ada yang salah pada Abangmu.

Kamu sedikit terkejut kala mendengar Abang Yoongi terisak. Dari tujuh, Abang Yoongi adalah abangmu yang tidak pernah terdengar menangis. Kamu tidak tahu harus bagaimana saat tangis Abang Yoongi semakin menderas. Ada apa, sih? Abang Yoongi tidak mungkin menangis tanpa alasan. Apa gara-gara menarik kerah baju Jung-gogie? Atau gara-gara menyaksikan Jung-gogie terbaring di lantai? Atau gara-gara darah di pelipis Jung-gogie? Kenapa, sih? Ada apa, sih?

Kamu bertambah bingung saat Abangmu mulai mengatakan maaf berulang-ulang. Kamu belum cukup dewasa untuk mengerti jenis-jenis tangisan, tapi yang kamu tahu, tangis Abang Yoongi bukan sekadar tangisan gara-gara tidak jadi dibelikan mainan. Isakannya menyedihkan, menyakiti hatimu, membuatmu terluka, membuatmu ingin ikut menangis di dalam pelukannya.

"Jena nggak seharusnya disini ... "

Abang Yoongi melepaskan pelukannya. Matanya sembab. Hidungnya memerah. Parasnya terluka teramat sangat, seolah-olah tengah kehilangan.

Kamu tidak mengerti.

"Jena ..."

Kamu merasakan sesuatu dalam tubuhmu. Bergejolak, membaka,r tapi tidak terasa panas.

"Jena seharusnya udah tenang di surga ..."

Bu Guru bilang, kalau ada yang sakit di tubuhmu, kamu harus bilang.

"Sakit ..."

Tatapan Abang Yoongi melunak. Ia menggenggam tanganmu seolah tak mau lepas. Dengan setitik air mata jatuh lagi dari pelupuknya, Abang Yoongi berkata dengan sisa-sisa suaranya. "Jena yang baik-baik, ya, di sana ..."

"Abang, sakit ..."

"Abang nggak bisa sama Jena lagi. Jena hati-hati, ya ..."

"Panas ... Tubuh Jena panas ..."

Dengan netramu, kamu melihat Abang Yoongi kembali terisak. Dengan netramu pula, kamu melihat tanganmu perlahan menjadi samar. Yang membuatmu terkejut adalah fakta bahwa kamu tidak terkejut. Seingatmu Bu Guru tidak pernah menceritakanmu tentang hal ini, tapi kamu tahu benar ini adalah sesuatu yang baik. Kamu tahu benar, dengan tubuhmu yang perlahan memudar dalam serpihan, kamu akan mendapatkan sesuatu yang baik. Kamu tahu benar kalau kamu akan menjalani sesuatu yang baik, kamu tahu benar kalau bahkan tanpa tujuh abang-abangmu, kamu bisa melakukannya dengan baik.

Kamu berusaha bicara dan kamu merasa suaramu bergetar. "Abang nggak boleh nangis ..."

Air mata abang Yoongi menderas. "Terimakasih sudah mau bertemu, Jena .."

Kamu tersenyum. "Terimakasih sudah jadi abang Jena yang baik, ya ..."

Hal terakhir yang kamu lihat adalah Abang Yoongi yang menemui nihil ketika berusaha menggenggam eksistensimu.

[ ]


cerita-cerita yang tak punya tujuan pulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang