Seumur hidup Alice, ia belum pernah membenci seseorang sampai mendarah daging. Namun sekarang, ia sangat membenci seseorang sampai berhasrat untuk membunuhnya. Bahkan kebisingan dalam kepalanya tengah mendiskusikan bagaimana cara menghabisi orang tersebut dan akan memutilasi bagian tubuhnya serta melemparkannya ke kandang buaya.
Oke, itu terlalu ekstrim dan lama kelamaan pikiran Alice berubah seperti psikopat berdarah dingin. Sialan!
"Aaak." Suara dari sebelah menyadarkan Alice dari lamunan. Pandangannya yang sempat kosong sekarang terisi penuh dengan wajah menyebalkan. "Aaak." Sekali lagi wajah itu membuat Alice muak, terlebih ketika mulutnya membuka lebar seperti kudanil yang tengah menguap. "Lama banget si lo!" decak si pemilik wajah menarik penuh kesadaran Alice.
Alice mengembuskan napas kesal, menyendokkan sesuap nasi goreng dan menyodorkan suapan itu ke depan mulut orang yang duduk di sebelahnya. Enggan, tapi harus. Seperti itulah yang dilakukan Alice sejak beberapa saat yang lalu. Siapa kira tetangganya yang super rese itu membawanya ke kantin hanya untuk menyuruhnya menyuapi cowok itu makan. Padahal kedua tangannya masih ada dan berfungsi dengan normal, tapi seakan dirinya itu bayi besar, Ragas meminta agar ia menyuapinya makan siang. Lebih tepatnya memaksa.
"Aak lagi." Suara Ragas kembali menginterupsi.
Alice mengembuskan napas kasar, mau tidak mau kembali menyendokkan suapan nasi goreng ke depan mulut Ragas. Namun, kali ini ia tidak diam, sedikit mengeluarkan unek-unek yang ditahannya sejak tadi. "Apa kamu nggak bisa makan sendiri? Kamu bukan anak kecil lagi dan kedua tanganmu masih berfungsi dengan baik. Lantas, kenapa kamu minta disuapin seperti bayi besar!"
Ragas yang sedang mengunyah makanannya seketika berhenti, menatap sebentar Alice yang tengah memandang sebal terhadap dirinya. Lalu ia kembali mengunyah sembari mengalihkan fokusnya pada game di ponsel yang sedang ia mainkan. "Lo nggak lihat, tangan gue sedang apa?"
Mata Alice berkedut mendengar jawaban Ragas. "Tahu. Tapi kamu bisa berhenti main sebentar dan makan makananmu sendiri tanpa harus merepotkan aku."
"Tapi sayangnya gue nggak mau. Kalau ada lo yang bisa nyuapin gue, kenapa juga gue harus repot-repot makan sendiri." Ragas menyeringai, mengedipkan sebelah matanya pada Alice. "Lagian, sebagai pacar yang baik, sudah jadi kewajiban lo buat melayani gue."
What the hell!
Ingin sekali Alice memukul mulut Ragas dengan piring atau mencabik-cabiknya dengan gunting. Ia yang sudah terlanjur emosi, semakin murka mendengar penuturan Ragas barusan. Apa dia bilang? Melayani? Seriously? Memangnya dipikir ia baby sitter-nya apa? Andai Alice punya tongkat sakti milik Harry Potter, maka ia akan mengutuk Ragas menjadi buaya buntung.
Alice yang kesal lantas membanting sendok ke piring yang masih tersisa sedikit nasi goreng. Ia meluruskan pandangannya menghadap Ragas. "Dengar ya, Ragas Aldebaran, tetanggaku yang laknat. Aku tegaskan sekali lagi, aku," Alice menunjuk dirinya sendiri. "Alice Olivia Hansen, bukan pacar kamu!" Alice mengucapkannya penuh penekanan.
Ragas menaikkan sebelah alisnya, lalu terkekeh geli. Seakan ucapan Alice barusan sebuah lelucon konyol yang begitu lucu di matanya.
"Heh!" Alice yang geram spontan menggebrakkan tangannya ke atas meja, menimbulkan suara keras yang sukses menarik semua pasang mata tertuju ke arahnya. Padahal tanpa Alice melakukan hal tersebut saja, semua orang diam-diam menatap ke arah dirinya. Lalu sekarang, mereka semua malah secara terang-terangan memusatkan pandangan kepadanya.
Good, Alice. Kamu baru saja menjadikan dirimu sendiri sebagai tontonan semua anak. Namun, sepertinya Alice tidak mempedulikan semua itu, karena fokusnya tengah tertuju sepenuhnya pada Ragas. Target yang ingin sekali Alice binasakan dari muka bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy On My Bed (Re-Publish)
RomanceAlice Olivia Hansen terguncang di pagi hari saat mendapati seseorang berada di atas tempat tidurnya. Seperti dihimpit batu besar, Alice melebarkan mata dan merasa dadanya begitu sesak ketika mengenali sosok itu yang tak lain tetangganya sendiri. Rag...