Prolog

1.2K 297 315
                                    

Pemandangan kota Jakarta, terlihat begitu menakjubkan di mataku malam ini. Rooftop adalah tempatku untuk me-relaxkan diri sejenak dari tumpukan pekerjaan dengan melihat pemandangan kota ini. Entah mengapa aku menyukai keramaian Jakarta saat malam hari. Kota Jakarta dengan berjuta sejarah di dalamnya. Begitu pula semua kisahku, termasuk tentangnya terukir di kota ini.

Aku menghela nafas sejenak, lalu meneguk secangkir kopi kalengan yang berada di tanganku. Setelah itu aku kembali ke ruang kantorku. Ada banyak tugas yang harus ku selesaikan malam ini. Aku melihat kembali jam tangan di pergelangan tanganku. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Sepertinya aku harus lembur di kantor malam ini.

Oh, ya aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Allaney Fortunata. Teman-temanku sering memanggilku dengan nama Allaney. Sedangkan, keluargaku memanggilku dengan sebutan Nata. Ada juga yang yang memanggilku dengan sebutan Ey. Terdengar aneh bukan? Ya, hanya dia satu-satunya yang memanggilku begitu.

Apa kabar dia sekarang? Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apakah dia menatap langit yang sama denganku? Apakah dia ingat dengan janjinya dulu? Entahlah aku pun tak tahu. Tapi, yang jelas aku masih menunggunya hingga sekarang.

Selembar foto kukeluarkan dari dalam laci meja kerja kantorku. Menatap lamat foto itu. Hingga akhirnya aku tersenyum. Itu fotoku dengannya. Bukan, foto berdua seperti yang kalian bayangkan. Tapi itu adalah foto bersama teman-teman ekskulku dulu waktu SMA. Kebetulan, aku berdiri di sampingnya. 

Aku tak peduli dengan orang lain yang ada di foto itu. Setiap melihat foto itu, fokusku hanya tertuju pada dua manusia yang berada tepat ditengah barisan foto. Seolah mereka berdua adalah pusat foto tersebut. Ya, kedua insan itu adalah Aku dan dia. Jadi, tak masalahkan kalau aku mengatakan itu adalah foktoku dengannya?

Masa SMA adalah masa yang katanya dipenuhi dengan tawa, canda, sedih, bahagia, dan banyak hal lainnya. Hidup kalian seakan lebih bewarna ketika memasuki masa SMA. Tapi tidak denganku, aku lebih banyak merasakan hal-hal pahit di masa lalu. Kenyataan-kenyataan pahit tentang kisahku entah mengapa satu persatu mulai terkuak saat aku SMA. Satu-satunya kenangan indah yang kumiliki waktu SMA adalah saat aku bersamanya. Mengingatnya saja selalu membuatku tersenyum.

Apakah kalian ingin mendengarkan cerita ku kali ini?

Baiklah aku akan menceritakannya jika kalian memaksa.

***

Pagi itu langit terlihat sangat mendung. Tampaknya langit sangat menyayangiku. Ia tak mau aku pergi sekolah hari itu, setelah apa yang terjadi padaku saat masa orientasi siswa minggu kemarin. Sungguh memalukan rasanya sampai aku merasa ingin melenyapkan diri saja.

"Nataaaaa! Kamar mandi sudah kosong tuh. Kamu gak mau mandi?"

Teriakan pertama Mama yang kudengar pada pagi itu. Aku memajukan bibirku tanda kesal. Bagaimanapun cuaca hari itu Mama pasti akan menyuruhku berangkat sekolah. Tanpa berlama-lama aku pun beranjak dari kasur, aku tak ingin mendengar teriakan Mama yang kedua kalinya.

Selesai mandi, aku bersiap untuk berangkat sekolah. Kupandangi lemariku sejenak, berusaha mencari sesuatu yang sangat penting untuk hari itu. Namun, tak kunjung kutemukan juga. Aku pun berdecak sebal. Segera kumasukkan buku dan alat tulisku ke dalam tas. Lalu bergegas keluar kamar.

"Ma, liat topi Nata gak?" tanyaku begitu melihat Mama yang sedang mempersiapkan bekal.

"Gak tahu tuh. Coba kamu tanya kakakmu, tadi Mama lihat dia masuk ke kamar kamu sewaktu kamu lagi mandi."

Aku mengerlingkan mata jengah. Pasti Bang Rio yang mengambil topiku. Aku meneriakkan namanya berkali-kali saat itu, namun tak ada jawaban darinya. Dan setelah mencari ke kamarnya pun aku tak menemukan batang hidungnya sama sekali. Dia pasti sudah berangkat sekolah.

"Ma, Bang Rio sudah berangkat sekolah ya?" teriakku untuk memastikan dugaanku.

"Di kamar gak ada?"

"Nggak ada." jawabku ketus.

"Aduh kebiasaan deh Rio. Kalau pergi suka gak pamitan dulu. Kamu gak berangkat sekolah juga, Nata?"

Aku melihat jam tanganku sekilas. Waktu menunjukkan pukul tujuh kurang. Sejenak aku melupakan urusan topiku, ada hal yang lebih penting sekarang. Aku tidak boleh terlambat ke sekolah. Setelah berpamitan dengan Mama, aku bergegas mengeluarkan sepeda dari garasi. Kukerahkan tenagaku untuk mengayuh sepeda.

Perjalanan dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit menggunakan sepeda. Sepanjang perjalanan, aku hanya berharap bahwa dewi keberuntungan dapat berpihak kepadaku.

Namun nyatanya tidak, pagi itu setibanya di sekolah aku harus ditahan di luar sekolah bersama siswa lainnya yang telat. Cukup lama kami menunggu di depan gerbang sekolah. Dan aku pun cukup merasa risih. Karena tampaknya banyak siswa disana yang mengenaliku. Apa lagi kalau bukan karena kejadian saat MOS. Aku benar-benar ingin menghilang saat itu.

Tepat pukul setengah sembilan. Gerbang sekolah terbuka. Seorang guru dengan perawakan menyeramkan telah menunggu diambang gerbang sekolah. Aku dapat mendengar gumaman orang disampingku. Ia bergumam tentang Pak Darji. Nampaknya orang yang dimaksud adalah guru tersebut.

"Siswa yang berseragam lengkap, boleh memasuki kelas," ujar Pak Darji.

Aku bersama siswa yang berseragam lengkap pun mulai berjalan memasuki gerbang sekolah. Namun, saat hendak melewati gerbang, aku dicegat oleh Pak Darji. Beliau menayakan keberadaan topiku. Sialnya, saat itu aku baru teringat tentang topiku. Aku melihat sekelilingku sejenak. Siswa lainnya tampak memperhatikanku. Begitu pula denganku, aku memperhatikan mereka. Tepatnya atribut yang mereka kenakan, bodohnya aku baru menyadari mereka semua mengenakan topi di puncak kepalanya.

"Topi gak ada, bet gak lengkap lagi. Masih merasa kamu pantas melewati gerbang ini?"

Saat itu aku benar-benar berpikir ingin lenyap saja. Tak bisakah Tuhan mengabulkan satu permintaanku saat itu? Saat itu satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menundukkan kepalaku sedalam mungkin. Berusaha agar wajahku tertutupi.

"Kamu lagi satu, topi kamu kemana?"

"Lupa, pak!"

"Yang lainnya bisa masuk kelas. Kalian berdua ke ruang kesiswaan sekarang," ucap Pak Darji.

Setelah mengatakan itu, aku dapat melihat sepatu yang digunakan guru tersebut pergi dari hadapanku. Namun, aku masih tak berani untuk menegakkan kepala. Masih malu rasanya.

"Lo masih mau diam kayak orang bodoh gitu?"

Nampaknya suara tersebut berasal dari siswa yang dihukum bersamaku juga. Aku mengalihkan pandanganku dari tanah, dan menatapnya dengan tatapan tidak suka.

"Allaney Fortunata. Siswa angkatan 32 yang katanya mempunyai NEM SMP tertinggi di sekolah ini, tapi gak bisa jawab pertanyaan anak SD," ucapnya lagi dengan nada menyebalkan.

Aku menandai hari itu. 21 Juli 2008 kali pertamaku bertemu dengannya, siswa yang kuanggap menyebalkan saat itu. Namun, tak pernah terpikirkan dia akan menjadi seorang yang sangat menyenangkan untukku.

***

Aku, Dia, dan Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang