Bab 22

49 15 0
                                    

Hari minggu ini, aku tak sedang berada di rumah. Kegiatan hari mingguku adalah berjualan minuman dingin di taman bersama kelompok danusku. Ya, usaha kami untuk mencapai target lima ratus ribu adalah dengan berjualan di minggu pagi ini.

Aku terduduk di bangku taman begitu tugasku telah selesai. Lelah rasanya menawarkan sepuluh botol minuman kepada orang-orang yang sibuk lalu-lalang di taman ini. Walaupun lelah setidaknya aku tahu sesuatu yang baru yaitu tentang betapa sulitnya mencari uang. Hatiku berkata bahwa aku harus bersikap lebih baik lagi kepada Mama yang kini mencari nafkah dengan berjualan makanan ringan.

"Udah selesai, Ey?"

Seseorang duduk di sampingku. Ya, tanpa melihatnya pun aku sudah tahu bahwa orang itu adalah Kak Daniel. Siapa lagi manusia aneh yang memanggilku dengan sebutan 'Ey'. Saat itu aku memilih diam. Rasanya sangat malas untuk menjawab pertanyaannya itu. Apakah dia tak bisa melihat kotak yang sedang aku pegang ini sudah kosong?

"Kok diem?"

"Capek," jawabku singkat.

"Nih, tadi gue pungut di jalan."

Kini mataku tak lagi melihat orang-orang yang berlalu-lalang. Atensiku beralih pada sebuah botol minuman yang sedang ia berikan padaku.

"Tumben baik," ucapku sambil menerima botol tersebut.

Kak Daniel tak menjawab perkataanku. Ia memperhatikanku yang sedang meminum minuman tersebut. Setelah aku selesai minum, aku kembali bertanya tentang tujuannya memberikanku minuman tersebut.

"Bayar."

"Ha?" sontak aku terkejut.

"Itu gak gratis Allaney Fortunata."

Seharusnya ini bukan kejutan yang besar lagi untukku. Sejak kapan Kak Daniel menjadi orang baik dan tidak mengesalkan? Ya, jawabannya tidak pernah. Harusnya aku sadar niatnya itu dari awal.

"Berapa?" tanyaku dengan nada ketus.

"Lima puluh ribu."

"Air mineral apaan yang harganya lima puluh ribu?" ucapku kesal.

"Itu," ucap Kak Daniel sambil menunjuk botol yang aku genggam.

"Udah deh Kak. Jangan buat orang kesal. Dosa tau."

"Bayar," ucapnya sambil menengadahkan telapak tangannya.

Dengan perasaan kesal, aku keluarkan uang yang berada di saku celanaku dan memberikannya dengan kasar kepada Kak Daniel. "Itu uang danus," ucapku ketus.

"Uang air yang lo minum tadi mana?"

"Gak ada uang."

"Bayar."

"Udah dibilangin gak punya uang saya, Kak."

"Bayar pakai waktu lo."

Aku menatapnya bingung. Saat itu aku berpikir apakah ini buntut dari rencananya memberikanku minuman?

"Saya gak punya waktu buat manusia yang ngeselin."

"Tuhan lo siapa?" tanya Kak Daniel.

Sekali lagi aku menatapnya bingung. Lantas aku menjawab bahwa tuhanku adalah Allah. Saat itu Kak Daniel berkata bahwa itu adalah sesuatu yang bagus, kemudian ia bertanya lagi apakah aku percaya pada akhirat. Tentu saja aku percaya. Mendengar jawabanku Kak Daniel berkata, "Perfect! "

"Kalau gitu gue tagih hutang lo di akhirat," lanjutnya lagi.

Aku benar-benar terpana dengan manusia aneh di hadapanku ini. Dia benar-benar bisa membuatku kalah berdebat dan tak mampu berkata-kata lagi. Bisa-bisanya ia menyebutku berhutang setelah menipuku. Wah, aku benar-benar tidak mengerti dengan pola pikirnya.

Aku, Dia, dan Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang