Bab 18

62 17 3
                                    

"Nata, barang-barang kamu cepat dibereskan ya."

Baru beberapa menit yang lalu Mama meninggalkan kamarku. Beliau membawa sebuah koper dan beberapa kardus kosong ke kamarku. Ya, ia menyuruhku untuk bersiap meninggalkan rumah ini. Kata cerai yang tercetus dari bibir Mama seminggu yang lalu itu ternyata bukan omong kosong belaka. Papa benar-benar mengurus surat perceraian itu ke pengadilan. 

Aku menghela nafas lelah sambil memandangi tumpukan kardus. Kejadian ini terlalu cepat untuk kucerna, dimulai dari fakta tentang kelahiranku, nilaiku, hingga perceraian Mama dan Papa. Memang benar kata orang, semakin dewasa, hidupmu akan semakin terasa sulit. Kalian tahu? Beban pikiranku tak hanya untuk sekolah saja sekarang. Aku harus mulai memikirkan bagaimana caranya membantu Mama membiayai hidup kami berdua. Ya, karena Mama itu hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa.

Kriing... Kriing...

Suara nyaring dari telepon rumahku memecah heningnya malam ini. Tak ambil pusing, aku memulai aktivitasku merapikan bajuku. Biarkan Mama atau Bang Rio saja yang mengangkat telepon itu. Namun hingga detik terakhir telepon itu berdering tak ada yang mengangkatnya. Tak lama kemudian telepon kembali berdering. Kali ini kuputuskan untuk mengangkat telepon tersebut.

"Halo?" ucapku memulai percakapan.

"Halo Allaney. Gue Rafa."

"Oh, Kak Rafa. Ada apa kak?"

"Gue ada di telepon umum dekat rumah lo."

"Loh ngapain kak?"

"Gue bingung nyari alamat rumah Daniel. Alamatnya sih lumayan deket sama rumah lo. Barangkali lo tahu..."

"Saya tahu kak. Mau saya anterin ke sana?" ucapku langsung memotong ucapan Kak Rafa.

"Gue belum nyebut alamatnya dimana Al."

"Saya pernah ke sana kak."

"Oh. Ya sudah gue ke rumah lo sekarang ya."

"Oke kak."

Aku menutup telepon. Sejujurnya aku bersyukur Kak Rafa mengajakku keluar malam itu. Entah mengapa suasana di rumah kala itu benar-benar membuatku sesak nafas. Aku benar-benar merasa tidak nyaman berada di rumah sendiri. Aku juga sekalian mengembalikan jaket, syal, dan topi kupluk yang Kak Daniel pinjamkan waktu aku terkena hipotermia.

Setalah mengambil jaket, syal, dan topi kupluk aku bergegas keluar rumah. Ternyata Kak Rafa belum datang. Akhirnya terpaksa aku menunggu dia di teras rumah. Namun, tak perlu waktu yang lama Kak Rafa tiba di depan rumahku dengan motor vespanya. Sejujurnya aku tidak terlalu menyukai motor vespa. Bukan karena modelnya yang kuno, tetapi motor vespa Kak Rafa ini benar-benar antik, sehingga masih menimbulkan suara yang bising ketika mengendarainya.

"Kak Rafa mau ngapain ke rumah Kak Daniel?" tanyaku begitu aku berada di hadapannya.

"Mau benerin laporan inventaris buat regenerasi."

"Oalah."

"Itu apa Al?" tanya Kak Rafa sambil memandangi kantong plastik yang berada di genggaman tangan kananku.

"Oh ini, barang-barang yang dipenjemin Kak Daniel waktu saya hipotermia kak. Saya sekalian mau balikin."

"Sekarang lo sudah sehat kan?"

"Sudah dong kak," ucapku sambil tersenyum.

"Bagus deh. Gue sempet khawatir."

"Maaf ya kak, saya waktu itu bikin repot. Makasih juga buat sleeping bag yang kakak pinjemin waktu itu."

"Santai aja. Yuk naik."

Aku menuruti perintahnya untuk menaiki motornya. Setelah itu kami mulai berangkat menuju rumah Kak Daniel. Banyak percakapan yang terjadi di antara Kak Rafa dan aku saat itu. Aku lupa apa saja yang kami bicarakan, tapi yang pasti itu bukan sesuatu yang penting juga untuk kuceritakan disini. Perjalanan ke rumah Kak Daniel tak membutuhkan waktu yang lama. Karena kami menggunakan alat transportasi bernama motor, kami dapat tiba di depan rumahnya dalam waktu lima menit.

Aku, Dia, dan Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang