Hmmm harus darimana lagi cerita ini kumulai? Aku bingung. Karena sejak kejadian aku mendengar perkataan Kak Rafa yang menyukaiku, tak ada kisah spesial yang berarti. Itulah mengapa aku tak yakin dengan apa yang kudengar malam itu. Kak Rafa tak menunjukkan sikap atau apapun yang menunjukkan rasa sukanya padaku.
Apakah aku harus melompati waktu? Baiklah aku akan beralih pada kisah perceraian Mama dan Papa empat bulan setelahnya. Proses pengadilan Mama dan Papa berlangsung tanpa adanya lagi keributan. Proses mediasi yang berlangsung saat itu pun tak membuahkan hasil apapun. Papa dan Mama tak mau berdamai. Keputusan mereka untuk cerai sudah bulat. Seusai surat keputusan yang menyatakan bahwa mereka cerai dibacakan, aku dapat melihat mata Mama yang memerah. Ia tampak beruaha tegar. Sedangkan Papa? Raut wajahnya begitu datar. Entah ia sedang menyembunyikan perasaan sedihnya atau memang ia tidak mencintai Mama lagi aku tidak tahu. Yang jelas kala itu, Papa tak menunjukkan tanda-tanda kesedihannya.
"Nat, jaga Mama ya. Abang harus ikut Papa, maaf kalau abang gak bisa ikut sama kalian. Abang gak tega biarin Papa tinggal sendirian."
Itu kalimat-kalimat terakhir yang kudengar dari Bang Rio sebelum kami berpisah. Ya, Bang Rio memutuskan untuk ikut dengan Papa ke Surabaya. Iya, Surabaya. Papa membiarkan aku dan Mama untuk tetap tinggal di rumah itu. Entahlah aku tak tahu harus senang atau tidak. Yang jelas dengan keputusan Papa untuk membiarkan aku dan Mama tinggal di rumah, membuatku menjadi semakin sedih tiap kali melihat Mama. Mama tampak sering sekali melamun atau menunjukkan perasaan sedihnya. Jelas saja, rumah ini berisi sejuta kenangan indah antara beliau dan Papa.
Saat itu aku benar-benar tahu bahwa Mama tulus mencintai Papa. Seharusnya aku yang meninggalkan keluarga ini. Bukan aku dan Mama. Dengan begitu Mama akan bisa tetap bersama dengan orang yang ia cintai. Setiap melihat Mama yang murung membuatku merasa bersalah. Aku menyalahi diriku berkali-kali, tentang mengapa aku harus hadir di antara kehidupan keluarga ini.
Hah.., aku benar-benar merasa bersalah.
***
"Tahun baru lu gimana, Ey?" tanya Kak Daniel.
Sore ini aku sedang bersama Kak Daniel di sekretariat Rempakem. Kami kebagian jadwal piket untuk membersihkan sekretariat sore ini. Sebenarnya masih ada Nisa dan Satria yang ikut bertugas sore ini, tetapi keduanya berhalangan hadir. Alhasil hanya kami berdua saja yang melaksanakan tugas piket hari ini.
"Sekarang sudah bulan Maret kak," ucapku tanpa memberhentikan aktivitas menyapuku.
"Terus?"
"Ya, ngapain nanya soal tahun baru? Sudah basi banget kali."
"Tinggal di jawab doang susah banget."
"Suram kak. Puas?" ucapku sebal.
"Suram kenapa?"
"Nggak ada bakar-bakaran, nggak ada kembang api, nggak ada.....," Aku menggantung ucapanku, karena sadar bahwa kata-kata selanjutnyalah yang sangat membuatku sedih.
"Nggak ada apa lagi?"
Bang Rio dan Papa. Itu yang ingin kujawab. Tapi, aku tidak ingin terlihat lemah. Aku tidak ingin dia tahu tentang perceraian Mama dan Papa. Sudah sangat cukup untuk dia mengetahui keributan di rumahku malam itu. Aku tidak ingin dia tahu dan mengasihaniku lebih dari itu.
"Kenapa diam?" ucap Kak Daniel membuyarkan lamunanku.
"Pengen tahu urusan orang lain banget sih, kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Dia, dan Masa Lalu
Teen Fiction[Hiatus] #1 alurmundur (3 April 2020) #2 ceritahidup (23 April 2020) #9 romancefiction (6 April 2020) #1 kilasbalik (16 Mei 2020) Ada kisah tentang masa lalu yang tak ingin ku ingat. Ada cerita yang tak pernah terulang. Ada kebahagiaan yang terlaru...