07. Truth and Hurt

151 24 2
                                    

“Teh, bangun hayu.”

Aku mulai membuka kedua mataku perlahan. Kedua mataku terasa sakit saat aku mulai mengedarkan penglihatan ku ke segala arah.

Aku melihat langit-langit, berwarna putih. Ini, di kamar ku?

Semalam aku ingat aku ada di luar, menangis karena sakit hati dan kecewa serta marah.

Aku mencoba bangun dan mengubah posisiku menjadi duduk. Bertatap muka dengan adikku yang mau membangunkan aku.

“Siapa yang mindahin teteh kesini?”

“Aku,” ucap Adam. Aku terdiam. “Teteh tuh ringan banget. Orang berat badan aja gedean aku,” ucapnya. Aku terdiam, lagi.

“Yuk sarapan, aku udah masak nasi sama telor pake kecap kesukaan teteh.” Setelah berkata seperti itu, Adam meninggalkan aku sendirian di kamarku sendiri.

Aku masih belum bisa beranjak dari kasurku. Setengah badanku masih tertutup selimut. Aku masih berusaha mengingat kejadian semalam, dimana aku bertengkar dengan Faishal.

Aku tidak bisa menerimanya lagi sebagai kekasihku. Aku kecewa, sangat kecewa dengan Faishal yang mengkhianati ku. Berpacaran diam-diam dengan perempuan lain dan statusku masih kekasihnya.

Aku trauma dengan urusan percintaan seperti itu. Aku tau tidak semua laki-laki itu sama brengseknya seperti Faishal karena setiap laki-laki di dunia ini berbeda. Ada yang setia, ada yang cepat bosan dan mencari haluan baru. Ada yang menghargai perasaan wanita, ada juga yang tega menyakiti perasaan wanita. Bahkan tak segan membunuh pasangannya sendiri.

Aku cepat mengucapkan istighfar dan menggelengkan cepat kepalaku. Aku harusnya gak mikirin hal sejauh itu. Astaghfirullah.

Faishal mendekati Vidia saat kami masih pacaran. Dan kini, Vidia mendekati laki-laki lain saat Faishal masih berstatus pacarnya. Ingin sekali aku tertawa setelah mengetahui hal ini. Kalian boleh memanggilku si kejam karena sebenarnya disini aku adalah korban dari pengkhianatan laki-laki itu. Sekarang, Faishal merasakan hal yang sama saat ia mengkhianati aku.

Tapi, aku masih belum percaya dengan rumor itu sebelum aku mengetahui yang sebenarnya. Akan aku tanyakan pada Adam nanti.

Aku mulai beranjak dari ranjang ku. Aku harus semangat. Aku masih punya masa depan, orangtuaku harus aku bahagiakan, aku juga harus bisa membimbing Adam, dan aku tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Anggap semuanya hanyalah angina lewat.

Aku keluar dari kamarku dan mulai berjalan ke dapur–ruang makan. Adam sudah stay di meja makan. Sepertinya, si anak lelaki tampan itu daritadi menungguku. Aku jadi merasa bersalah karena sudah membuatnya menunggu kedatanganku.

“Kamu nunggu teteh?” tanyaku. Adam mengangguk. Aku menarik kursi yang ada disamping Adam dan duduk di kursi itu.

“Ayo makan. Teteh ambilin ya.” Aku mengambil piring dan sendok buat Adam dan menyiapkan nasi dan telur untuknya. Aku memberikan piring itu sambil tersenyum. Tak lupa segelas air minum.

Aku juga melakukan hal yang sama. Mengambil piring, nasi, telur dan sendok. Tak lupa kecap. Kami makan bersama. Baru merasakan makan pagi bersama lagi. biasanya kalau sarapan gak pernah bareng. Libur juga kadang aku suka sarapan sendiri.

Aku sampai teringat Devan. Kemana anak itu?

“Dam, Devan mana?” tanyaku.

“Devan dijemput Mamanya tadi subuh,” ujarnya. Aku mengangguk pelan. Padahal aku sudah janji padanya bakal anterin dia ke sekolah.

Setelah menghabiskan sarapan, aku membereskan piring bekas makan–menyimpannya ke bak cuci piring. Aku mencuci piring bekas makan tadi. Sampai ada yang berdiri disampingku–mengambil piring yang belum di bilas.

You and All Memories || yjy - ljh [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang