Pertama

655 96 25
                                    


Gara Biru masih berada dalam pikiran Bella ketika perempuan itu duduk di kursi kafetaria sambil mengunyah bola-bola minuman teh hijaunya. Seingatnya, pertama kali dia bertemu Gara adalah di hari kedua dia bekerja. Bella, yang merasa keterlambatan pegawai baru bukanlah tindakan sopan, berangkat tiga jam sebelum waktu masuk kantor meskipun apartemen yang dia sewa bersama Logan berjarak cukup dekat dari sana. Ketika sampai di lobi utama dan bertemu seorang pria berkemeja putih bersih dan dasi biru dongker yang memasuki gedung bersamaan dengannya, Bella mungkin tak punya kesan akan eksistensi orang itu jika dia memasuki lift dan menghilang. Namun, kenyataannya, yang pria itu lakukan adalah tetap membuntutinya ketika dia naik tangga hingga mereka berhenti di tujuan yang sama yaitu kafetaria lantai tiga.

"Ah," batin Bella. "Orang itu terbiasa olahraga pagi rupanya."

Bella memutar ulang kejadian itu dalam kepala sambil menatap pemandangan kota di balik jendela gedung dari tempatnya duduk. Gara sama sekali bukan orang yang tampak berbahaya. Impresi awalnya memang berkesan tegas, serius, tidak banyak tersenyum dengan ekspresi yang selalu datar. Namun, Bella mendapati sisinya yang berbeda ketika menemani Sekretaris Lucy dalam rangka mengobservasi tugas yang akan diembannya, dan salah satunya adalah berdiskusi dengan Gara lantaran manajemen Adler Model dan Gara Banyu Property telah menjadi rekan tetap dalam berbisnis tanpa perjanjian tertulis. Dalam pertemuan itu, Gara tampak kompeten, ramah, dan dapat dipercaya. Senyumannya yang lebar, tulus, dan etis pun menambah imaji kecakapan dalam dirinya.

Mempertimbangkan semua itu, Bella menjadi tak heran mengapa Gara Biru populer di kalangan pegawai hingga model di tempatnya bekerja. Apalagi dia pernah mendengar salah satu anggota Divisi Work berkomentar saat melewati koridor, "Gara Biru mah semanis-manisnya gula, masih lebih manis dia."

"Tapi, bagaimana bisa dia datang ke flatku?" gumam Bella pada dirinya sendiri. Keriuhan di otaknya terasa sangat keras sampai harus keluar dari kepalanya.

"Aku sudah bertanya ada urusan apa dia mencarimu, tapi dia cuma menjawab: 'Oh, ya sudah kalau begitu,' dan langsung pamit." Ucapan Logan saat masih di ruangan Direktur Jin itu terngiang lagi dalam telinganya.

"Dia tidak pernah mengajakku bicara," gumamnya lagi. Gelombang pada keningnya semakin dalam. "Kalau begitu, kenapa tidak mengajakku bicara? Apa ada yang belum diceritakan Direktur Jin padaku? Apa ada sesuatu yang belum kuketahui? Ah, bodohnya, tentu saja, pasti banyak hal yang belum kuketahui. Tapi kenapa harus ke flatku? Kenapa tidak menemuiku di sini saja? Dari mana dia tahu alamatku? Ah, pasti Direktur Jin!"

Tangannya segera menyalakan layar ponsel di atas meja, hanya untuk dimatikannya lagi.

"Bodoh. Menghubungi Direktur Jin untuk menjawab pertanyaan pribadiku? Idiotically stupid!" umpatnya, memendam frustrasi dalam matanya yang terpejam. "Tapi alamat pribadi memang sebuah informasi pribadi, kan? Oh, pasti ada suatu alasan bisnis yang belum diberitahukan padaku. Tunggu saja, Bella Airen, Direktur Jin pasti memberitahumu, setidaknya, begitu kembali dari Aussie."

Ketika dia menggumamkan kalimat terakhir, derit kursi terdengar dari meja sebelah. Mengetahui pelaku kebisingan itu, refleks, Bella meneguk ludah.

"Apa sekarang saja? Kalau Direktur Jin memberitahukan alamatku padanya, berarti sudah pasti kami akan jadi rekan kerja, kan?" batinnya.

Bella mengamati pria yang tengah menyantap salad itu lamat-lamat, berusaha membaca situasi apakah dia tengah sibuk atau tidak. Dilihat dari gesturnya, pria itu cukup santai. Satu tarikan napas panjang mengawali Bella bangkit dari duduknya. Meskipun lirikannya ragu pada pria itu, dia tetap menghampirinya perlahan.

"Dengan ... Pak Gara Biru?" Bella menyapa sambil memasang wajah ramah yang tak berlebihan.

Tidak seperti bayangan Bella yang menyangka Gara akan 'biasa saja'; setidaknya, luwes dan tenang; kedua mata pria itu malah melebar dan gurat wajahnya mendadak super kaku.

Bella langsung merasa kehadirannya tak diharapkan. Ekspresi Gara seolah mengusirnya tanpa kata-kata. Dalam hati, dia sangat ingin mundur, pulang, dan tidak mau lagi muncul di hadapannya. Namun, menyerah bakal membuatnya terlihat luar biasa konyol dan lagipula, tujuannya yang berlatar belakang kepentingan pekerjaan adalah satu hal yang mendorongnya untuk tetap maju.

"Saya Bella Airen Hana, sekretaris Direktur Jin yang baru." Bella mempertahankan senyuman tipis sambil berjabat tangan. "Mohon maaf sebelumnya, tapi apakah saya sangat mengganggu Anda saat ini? Apabila Anda sangat sibuk, saya bisa menunggu di meja sebelah sampai Anda selesai. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan."

Gara seperti baru kembali pada kesadarannya. Dia tiba-tiba merespons dengan menarik kursi di sampingnya. "Oh, tidak, kok. Duduk saja, Bel."

Leher Bella berjengit ke belakang. Duduk saja, Bel? Isn't it too casual for a stranger like me? Dan, apa? Kenapa dia tidak menunjuk kursi di depannya saja? Logika Bella bertanya-tanya kebingungan. Namun, meski dia belum terbiasa dengan budaya di lingkungan kerja yang seperti itu; atau memang Gara saja yang aneh; Bella mengikuti alur perangai pria tersebut demi mendapatkan informasi yang dibutuhkannya.

Bella mengambil tempat di kursi yang dipersilakan Gara karena dia khawatir bisa menyinggungnya kalau memaksakan diri duduk berhadapan. Jemarinya bertautan di dekat bubble tea miliknya dengan kurva formal yang, tentu saja, terus terpatri.

"Jadi, sebenarnya saya dengar Anda tadi pagi ke apartemen saya." Bella memulai setelah Gara tampak siap menyimak dengan memberinya atensi.

Gara cuma mengangguk satu kali. Bella menunggu ucapan yang bakal menyusul gestur itu, tapi dia tidak mendengar apa-apa.

"Jadi, apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya, sebenarnya? Apakah ada sesuatu yang telah Anda diskusikan dengan Direktur Jin sehingga Anda harus datang ke tempat saya?"

"Oh, Direktur Jin belum memberitahu Anda tentang kerja sama yang setiap musim dilakukan?" Pertanyaan Gara itu, entah mengapa, di telinga Bella terdengar sangat agresif.

"Tenang saja, Pak Gara. Saya sudah diedukasi mengenai hal itu, tapi untuk jadwal ke depan belum ada kepastian dari Direktur Jin, jadi saya belum berani menyimpulkan sesuatu hanya dengan pengetahuan saya tentang perusahaan yang minim."

Gara menciptakan jeda sejenak. "Show setiap musim selalu bekerja sama dengan saya. Saya meminta alamat Anda pada Direktur Jin karena Anda sulit sekali ditemui di kantor."

"Oh, mohon maaf, akhir-akhir ini saya lebih banyak menghabiskan waktu di ruangan Direktur Jin karena beliau masih di Melbourne. Jika Anda bertanya ke orang-orang Adler mengenai keberadaan saya, pasti Anda akan diberitahu oleh mereka."

Gara hanya diam memandanginya. Maniknya tidak berkedip sama sekali. Sepasang alisnya yang miring ke dalam menyebabkan tatapannya terpusat intens. Bella mengerutkan dahi samar, mencoba membaca pikiran lawan bicaranya, tapi sayang sekali dia bukan cenayang.

"Jadi, apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?" Bella memulai lagi dengan intonasi hati-hati.

Namun, dia kembali tak mendapatkan tanggapan yang diinginkannya karena Gara berdiri, mengeluarkan ponsel dari saku dan mengatakan, "Saya sibuk. Berikan nomor handphone-mu saja," yang membuat Bella kesusahan mencerna situasi dadakan yang terjadi.

Bukannya tadi you sendiri yang bilang tidak sibuk?

"Oh, maaf sudah mengganggu, kalau begitu." Bella mengetikkan sederet nomornya sambil menelengkan kepala yang berpikir keras.

"Nanti saya hubungi kalau ada waktu."

Menghubungi kalau ada waktu?

"Oke, baik, Pak Gara." Bella bangkit dari kursi dan mengangguk sopan, mengawasi punggung Gara yang semakin jauh.

"Menghubungi kalau ada waktu? Hah. Dia pikir aku selalu ada waktu kalau dia 'sedang ada waktu'? Dia pikir kita tidak butuh jadwal untuk bertemu? Apa, sih, yang terlalu sulit dari mengatakan tujuannya ke rumahku? Konyol sekali, Gara. Gara Biru? Siapa Gara Biru? Yang aku tahu hanya orang paling tidak jelas di dunia!"

DÉMODÉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang