Setelah mampir ke ruang tunggu tim paduan suara sebentar, Bella memasuki spasi utama auditorium dengan tangan yang sudah kosong, tepat pada saat lampu utamanya dimatikan. Wajah orang-orang di dalam situ jadi sulit dideteksi, yang tersisa hanya siluet-siluet mereka yang tampak dari belakang. Namun meski begitu, cukup mudah buat menemukan yang manakah siluetnya Shabrina, karena figur mungil perempuan itu berdiri sambil melambai-lambai mengangkat ponselnya.
"Sudah lama?" Napas Bella terembus lega saat mendaratkan bokong ke kursi berlapis busa tipis itu.
"Tidak, sih." Shabrina menunjukkan layar ponselnya. "Kulacak pakai Find Device kamu nge-stuck di bakery dekat apartemenmu. Aku enggak tahu tadi pas kamu nelepon, kutelepon balik kamu enggak angkat. Kukira kamu mau bilang kalau enggak bisa datang. Sepertinya eror, ya, aplikasinya."
Bella tidak langsung menjawab. Pikirannya malah dipenuhi ingatan kemunculan Gara di depan toko roti tadi, membangun jeda sejemang.
"Bel?" Shabrina sampai harus menyadarkan.
"Hah? Oh." Bola mata Bella sempat bergerak panik. Bahunya mengedik ke atas setelah berpikir cepat. "Tidak tahu. Iya, mungkin saja eror."
Shabrina mengangguk. "Terus tadi kamu telepon kenapa?"
Bella meneguk ludah. Otaknya jadi kembali ke Gara lagi; harus segera diempaskan. "Aku mau minta tolong dipesankan tumpangan—belum download aplikasinya."
"Enggak ada taksi?"
"Enggak ada yang lewat. Kalau pesan dulu takut semakin terlambat."
"Terus kamu ke sininya gimana?"
Berdesis, Bella diam. Dia belum mau cerita tentang Gara, tapi pertanyaan Shabrina cuma bisa mengarah ke sana. Duh, dia bukan orang yang mampu bohong kalau bukan buat kebaikan. Berbohong demi menyembunyikan Gara tidak ada faedahnya.
Shabrina masih menunggu jawaban dengan menatapnya terus.
"Itu ...," ujar Bella ragu. Air liurnya terteguk gugup. "Tadi aku diberi tumpangan oleh seseorang."
"Siapa?" Ya, tentu saja Shabrina akan menanyakan itu.
Dan membuat Bella mengulas senyum tipis yang sangat canggung. "Pak Gara," katanya.
Si lawan bicara langsung melototkan mata. "Gara Biru?"
"Iya, siapa lagi?"
"Hebat!" seru Shabrina. "Kok, bisa?"
"Tidak sengaja," jawab Bella singkat dan menunjukkan kalau dia tidak ingin membahas itu lebih lanjut. Dia mengalihkan atensi ke lampu dekorasi panggung. "Yang penting aku sudah di sini."
"Iya, sih, benar juga. Syukurlah kamu sudah di sini. Tadi aku takutnya kamu kenapa-napa." Perempuan yang kini membuka fitur kameranya itu mulai bersiap merekam tim paduan suara yang irama pembukanya mulai terdengar. "Saddam ini gayanya mesti enggak mau direkam, tapi kalau sudah diunggah jadi story juga pasti di-repost."
Bella terkekeh. "Beda sekali dengan Logan. Biarpun di-upload pun enggak akan di-repost. Dia memang tidak terlalu aktif sosial media."
"Iya, sama saja kayak kamu."
Bella cuma meringis, lantas tatapannya terpusat pada anggota paduan suara yang mulai muncul memasuki pentas satu per satu bersamaan biodata dan foto yang dipampang bergantian di kedua layar sayap panggung. Hening mencekat para audiens saat musik pembukanya berhenti setelah formasi berbaris rapi.
Saat itu ada sesuatu yang bergetar dari dalam tas kecil Bella. Keningnya mengerut mendapati pesan dari nomor tak dikenal.
"Bella, besok bisa tolong antarkan saya ke rumah Jin Kim yang baru?"

KAMU SEDANG MEMBACA
DÉMODÉ
RomanceKerja keras Bella Airen di Paris membuatnya dipromosikan untuk menjadi sekretaris direktur agensi model fesyen di Indonesia. Perusahaan itu ternyata berlokasi di gedung yang sama dengan kantor utama bisnis properti milik Gara Biru. Gara dikenal akan...