Seusai ibadah maghrib, Bella menemui Shabrina di area kafe dekat lobi apartemennya. Sebetulnya dia tak habis pikir mengapa sahabatnya itu sering mengunjungi tempat tinggalnya tersebut. Mungkin karena kopinya enak; Bella yang bukan penggemar kopi kurang tahu; atau suasananya yang tenang dan nyaman. Tapi yang telah menjadi kebiasaan, sesibuk-sibuknya Shabrina, dia selalu memastikan dirinya berkunjung ke sana minimal tiga kali dalam seminggu."Kapan-kapan kalau kamu lagi break time, coba mampir ke tempatku. Siapa tahu kita bertemu dia dan aku bisa kasih tahu orangnya yang mana." Bella memutar bola mata. "Kalau kamu tahu, ya, Shab, dia sebenarnya biasa saja. Maksudku, dia menyapa orang-orang yang dia kenal sewaktu-apa, ya, namanya-kalau dua orang saling berjalan dan mendekati itu sebutannya apa? Yang saling berhadapan tapi tanpa berhenti?" katanya sambil memperagakan seolah kedua manusia itu adalah telapak tangannya.
"Papasan?" sahut Shabrina sambil melahap potongan donat.
"Iya, papasan. Dia tersenyum dan membalas sapaan mereka dengan, well, ramah sekali. Aku pernah lihat dia menyapa security guard juga waktu pagi." Bella menarik kedua ujung bibirnya ke dalam. Alisnya menukik dan maniknya memandangi langit-langit. "Dia padahal orang baik, tapi aku belum pernah bertemu rekan kolaborasi seburuk dia."
"Maksudmu, sikapnya?" Shabrina memperjelas.
"Iya, sikapnya. Tapi, sikapnya sebenarnya bagus. Maksudku, dia bisa membawa diri dengan baik saat Sekretaris Lucy masih di sini. Waktu itu aku agak lega karena berpikir: 'ah, dealing with people like him seems wouldn't be so hard,' tapi ternyata dia tidak seperti yang kukira. Aku jadi tidak tahu bagaimana nasibku kalau sudah memulai proyek dengan orang itu."
"Siapa tadi namanya?"
"Gara Biru." Bella menatap si sahabat yang kini sibuk dengan ponsel di tangan. "Kamu mau cari namanya di Google?"
"Hehehe." Shabrina meringis dengan ibu jari yang bertambah cepat.
"Gara Biru Gumelar," ujar Bella santai. "Aku sudah searching lebih dulu tadi. Namanya bersih, Shab, kamu tidak akan mendapat apa-apa."
"Gara Banyu Property?!" Perempuan yang sedang menggigit sedotan es amerikanonya itu membelalak sebelum menatap Bella tak percaya. "Gara Banyu? Banyu? Wait!" sambungnya semakin antusias.
Penasaran, Bella mencondongkan kepala mengintip layar Shabrina, tapi merasa tak menemukan sesuatu yang menarik. "Memangnya ada apa?" tanyanya.
"Astaga, benar-benar Banyu Samudra!"
"Banyu Samudra?"
"Dia adiknya Gara? Oh, God, Bels!"
"Apa, sih, Shab?"
"Kamu tahu, tidak, kenapa aku menyarankan kamu buat tinggal di sini?"
"Karena dekat tempat kerjaku?"
"Soalnya di sini tempat tinggalnya Banyu Samudra!"
Bella yang merasakan kejanggalan di udara, menarik punggungnya ke belakang hingga menempeli sandaran kursi. "Sorry?"
"Dan ternyata kantor kamu satu bangunan sama abangnya Banyu?"
"Oh, wow!" seru Bella yang akhirnya berhasil membaca situasi. "Kamu menjijikkan, Shab."
"Loh, kenapa begitu?"
"Jadi kamu menyuruh aku supaya tinggal di sini bukan karena fasilitasnya yang bagus atau lokasinya strategis, tapi sesempit karena ini tempat tinggalnya si Banyu Samudra itu? Hah. Shab, pantas aku curiga sejak kamu terus-terusan mempromosikan flat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
DÉMODÉ
RomanceKerja keras Bella Airen di Paris membuatnya dipromosikan untuk menjadi sekretaris direktur agensi model fesyen di Indonesia. Perusahaan itu ternyata berlokasi di gedung yang sama dengan kantor utama bisnis properti milik Gara Biru. Gara dikenal akan...