Ketiga

461 74 29
                                    


"Sissy, menurutku, ya, sebaiknya kamu sering-sering keluar sama siapa gitu supaya aksenmu bisa lebih luwes."

Bella melirik ke bawah; tempat Logan duduk bersila di atas karpet bulu yang mengalasi meja sambil sibuk mewarnai desain tuksedonya. "Memangnya kamu sudah seluwes apa?" tanyanya sarkastis.

Logan mengernyit tak terima. "Loh, kamu nggak menemukan perbedaan cara bicaraku yang sekarang dengan yang dulu?"

"Hei, dengar, ya." Bella berdecak, menghela napas akibat kenampakan menyebalkan di wajah adiknya itu. Mengubah posisi yang semula berbaring di sofa menjadi duduk, dia membuat saudaranya harus menengadah buat menatapnya. "Coba kamu kerja di tempatku, pasti kamu kesusahan juga buat bisa berubah. Kamu bakal terbiasa menulis laporan pakai bahasa baku and all things considered."

"Ya, makanya, sekali-sekali kamu keluar sama siapa gitu di luar jam kerja yang bisa memperbaiki aksenmu. Bukannya sama Kak Shab terus."

"Bukannya kamu juga sama Saddam terus?"

"Saddam, kan, kadang merekrut aku masuk acara paduan suara, jadi aku ketemu anak-anak lain juga di sana."

Bella menghirup udara panjang sebelum menggigit bibir bawah bagian dalam dan berkata penuh penekanan, "Logan Pamungkas, dengerin aku, ya—"

"Nah, gitu dong!" Yang termuda mendadak histeris.

"Apa?" Bella mendesis kesal.

"Dengerin aku, ya, itu sudah lebih luwes tuh."

"Kamu ini, ya." Satu bantal melayang ke kepala Logan seiring si sulung berucap geram. "Segala hal itu butuh proses, dan proses setiap orang itu berbeda-beda tergantung lingkungannya. Buat apa, sih, kamu ikut aku terus dari dulu? Seharusnya kamu menetap saja sama mama-papa."

"Lah ngapain? Aku maunya tinggal sama Bella Airen Hana, kok."

"Bella Airen Hana Bella Airen Hana. Coba kamu kurang sopan waktu di luar, kunci flatnya pasti kuganti." Yang tertua mengancam dengan nada rileks.

"Memangnya aku pernah memanggilmu tanpa 'Kak' waktu di luar?"

"Aku menanti-nanti saat itu, sih, sebenarnya."

"Nyebelin!"

Bella menyeringai, mengibas rambut dan merasa puas melihat lirikan sinis si bungsu. Sekon berikutnya ponsel bergetar berulang-ulang di tangan, menyebabkan wanita itu terburu-buru berangkat dan sampai di lahan parkir gedung kantor. Direktur Jin yang tampaknya sepulang dari bandara naik taksi masih menggenggam gagang koper; kacamata hitam menggantungi pertengahan kemeja katun bermotif bunga-bunga. Bella tersenyum canggung. Dia tidak menyangka akan dipanggil ke kantor malam-malam meskipun tugasnya telah selesai.

"Kamu sudah ketemu Gara?" Direktur Jin menyambar dengan pertanyaan itu.

"Oh, Pak Gara." Terima kasih pada pendar lampu yang cukup remang karena membantu Bella menyembunyikan keterkejutan. "Sudah, Pak."

"Oh, iya, saya belum pernah bilang, ya." Pria itu menggerakkan jari telunjuk sebagai pengganti gelengan kepalanya. "Jangan panggil saya 'pak'. Saya masih muda."

"Ah, baik—" Proses berpikir Bella butuh jeda sejenak. "—Direktur Jin."

"Jin Kim juga tidak apa-apa." Si pria jangkung tiba-tiba menahan tawa. "Mr. J juga tidak apa-apa, hahaha!"

Melihat reaksi atasannya yang tersurat bahagia dengan panggilan kedua tersebut, maka Bella berpikir keputusan terbaik adalah untuk memanggilnya, "Mr. J? Nice one!"

"Ya, jadi sudah sejauh apa obrolan kamu sama Gara?" Direktur Jin kembali memasang mode serius.

"Hm ...." Bella menekan kebingungannya dalam hati akan pembawaan suasana bosnya yang naik-turun. "Sebenarnya yang saya tahu masih sebatas Pak Gara mendapatkan alamat saya dari Anda. Kemudian, beliau kemarin meminta nomor saya karena masih sibuk dan belum bisa membahas secara langsung. Jadi, kami belum sempat mendiskusikan apa-apa."

DÉMODÉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang