Keempat

481 67 12
                                    


Bella, yang tengah menunggu pesanannya selesai dikemas, berdiri di depan meja kasir dengan atensi terpaku pada jam analog yang melingkari pergelangan tangan. Menurut perhitungannya, dia hampir terlambat menghadiri konser paduan suara adiknya; tapi dia tidak bisa pergi ke sana begitu saja karena kebiasaan Logan yang selalu lupa makan setiap kali fokus mempersiapkan sesuatu. Setelah membayar beberapa potong roti dalam kotak yang diterimanya, dia melenggang tergesa-gesa ke luar dan berhenti di trotoar. Dia tidak punya aplikasi daring buat memesan ojek, jadi dia mengeluarkan ponsel hendak meminta tolong Shabrina supaya dipesankan sewa tumpangan. Tapi, tiba-tiba, dia dihampiri motor hitam yang dikendarai pria berjaket kulit dengan wajah tertutup helm.

Kecurigaan negatif dalam pikiran membuat Bella berjalan menjauhi pria asing itu secara otomatis. Dia menunggu nada sambung di telinganya yang tidak diangkat-angkat Shabrina. Mulutnya berdesis; menduga sahabatnya itu sudah di auditorium dan tidak mendengar ponselnya berdering. Pandangannya mengarah ke ujung jalan, mencari-cari taksi. Mendadak, ada bariton yang memanggil namanya dari belakang.

Bella menoleh dalam satu hentakan, menyangka hal yang tidak-tidak akan terjadi. Namun, ternyata pria asing itu hanyalah Gara.

"Oh! Saya kira siapa," gumamnya, menjatuhkan tangan yang tadinya refleks menekan dada.

Gara tertawa kecil.

"Mau ke mana?" tanya si pria, yang kadar informalnya tidak disangka sang lawan bicara.

"Ke acara paduan suara adik saya," jawab Bella.

"Oh, kamu punya adik?"

Perempuan itu mendadak merasa konsenterasi otaknya pecah; kesulitan memahami perilaku laki-laki di depannya itu. "Kalau tidak salah, bukankah Anda sudah pernah bertemu adik saya?"

"Oh! Itu adikmu?" Keterkejutan di wajah Gara tampak jelas tidak dibuat-buat.

Bella nyaris melongo—beruntung dia sadar dan merapatkan giginya. "Iya, adik kandung saya," ujarnya, memaksakan tawa kecil yang terdengar canggung di telinganya sendiri.

Gara tidak merespons, tapi sedikit—sedikit sekali—menyunggingkan senyum. Bella tidak tahu hal apa lagi yang harus dikatakan karena dia tidak mungkin mengusir pria itu secara terang-terangan.

Akhirnya, wanita itu memutuskan buat mengecek arloji, berharap Gara bisa menangkap kodenya yang sedang terburu-buru.

Dan dia berhasil, tapi ada yang mengagetkan.

"Kamu mau kuantarkan?"

"Hah?" Kali ini rahang Bella benar-benar jatuh. "Oh, maaf," ucapnya terkait reaksi di luar kendali itu. "Tidak perlu, Pak, saya menunggu taksi saja."

"Ball room di pusat kota itu, kan?" Secara tidak langsung, Gara memaksa. "Aku pernah lihat kamu di sekitar situ soalnya."

Bella meneguk ludah. Dia ingin menolak, tapi Shabrina belum meneleponnya balik. Dan kalau dia tidak segera sampai di lokasi, Logan pasti bakal menjalani waktu satu jam lebih bernyanyi dengan perut kosong. Di saat yang sama, Bella merasa ngeri juga, memikirkan kemampuan Gara yang bisa ingat jika pernah menemukannya di keramaian seperti itu ketika mereka bahkan belum saling mengenal.

"Gimana?" tanya si lelaki.

Bella mengembalikan atensi ke lawan bicaranya itu. "Apa tidak merepotkan?"

"Nggak, kok. Searah sama tujuan saya." Gara menutup konversasi dengan mengambilkan helm cadangan dari bagasi motornya. Bella masih ragu, tapi menerimanya dengan kikuk.

Perempuan itu naik dan menggenggam sejumput jaket kulit di kedua sisi pinggang Gara untuk dijadikannya pegangan—sesedikit mungkin supaya lelaki itu tidak terasa kalau tengah dipegangi. Di tengah-tengah mereka, tas jinjing Bella sengaja dipasangnya sebagai pembatas. Kantong cokelat berisi kotak kue menggantung dan mendapat pengawasan Gara di kapstok depan. Lelaki itu berkendara dengan tarikan gas yang sangat halus. Dia juga tidak membombardir penumpangnya itu dengan pertanyaan basa-basi. Untuk pertama kalinya, Bella merasa nyaman dibonceng oleh orang asing.

DÉMODÉTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang