Part. 1

16.5K 798 25
                                    

Matahari telah naik tepat di atas kepala, tepat setelah melaksanakan sholat dzuhur di masjid kampus. Seorang pemuda dewasa dengan menggendong ransel besarnya, berjalan menyusuri gang-gang kecil untuk mencari plang bertuliskan "ada kontrakan kosong" peluhnya sudah bercucuran, sesekali ia tersenyum ramah kepada orang yang kebetulan berpapasan dengannya.

Lelaki itu memang terkenal ramah, terlalu ramah malah. Setiap gang yang disusuri banyak kos-kosan mahasiswa, ada yang masih kosong, namun sang pria tidak mau tinggal di kos-kosan, kurang privasi katanya.

Dia lebih nyaman tinggal di rumah kontrakan tiga petak, agar lebih leluasa melakukan aktifitasnya.

"Permisi, Bu," sapanya ramah kepada ibu yang sedang duduk di teras menggendong bayinya.

"Ya ada apa, Mas?" sahut sang ibu.

"Ehhmm ... maaf numpang tanya, kalau kontrakan tiga petakan sekitar sini ada gak ya, Bu?" tanyanya sambil menyunggingkan senyum.

"Ga ada, Mas. Adanya juga kos-kosan," sahut si Ibu.

"Coba ke gang depan, belok kiri nanti ketemu pertigaan ambil kanan, lurus aja belok kiri," jelas si ibu dengan detail.

"Oh ... gitu, daerah situ ada ya, Bu?" tanyanya antusias.

"Ya gak tau juga,  sampe situ tanya lagi bae," ucap si ibu cuek sambil menimang bayinya.

Sang lelaki menyeringai sambil menggaruk rambutnya yang mulai terasa panas dari balik kopiah kupluknya.

"Oh, baik, Bu, terimakasih informasinya." lelaki itu pun berlalu, mencoba peruntungan mengikuti arah yang ibu jelaskan tadi.

"Huuhh ... lumayan jauh juga," gumamnya begitu sampai di tempat yang diberitahu oleh ibu tadi.

Tidak ada rumah kontrakan di sana, hanya padang rumput dan kebun cabe rawit. Entah siapa pemiliknya. Di sana juga ada sebuah musola kecil yang tengah sepi.

"Maksud  ibu tadi, aku disuruh nanya sama musola ? apa disuruh tanya sama cabe?" gumamnya sambil kembali tertawa kecil.

Lelah berjalan dengan keringat bercucuran, membuat ia memutuskan untuk duduk sebentar di pelataran musholla. Lelaki yang bernama Devit tadi mengibas-ngibaskan kopiah kupluknya untuk mengusir gerah dan peluhnya.

"Pak, ngapain di situ?" tanya seorang wanita ABG berwajah oriental, dengan tampang galaknya. Devit melongo, kaget ditanya tiba-tiba oleh seorang gadis yang saat jutek aja cantik.

"Eh, ini ...," jawabnya gugup kemudian menundukkan wajahnya, demi mengalihkan rasa terpesonanya.

"Mau maling kotak amal ya?" tuduh si ABG dengan berkacak pinggang.

"Eehh, bukan Dek, saya cuma numpang istirahat," jawabnya kaget.

"Istirahat ya di rumah, Pak. Masa di musholla. Kecuali Bapak mau disholatkan, baru di sini bisa. He he ... udah sana pergi! jaman sekarang pake baju salat dan jenggotan, tau-tau bawa bom," ucapnya lagi sambil mencebik. Devit berusaha menahan senyumnya mendengar ocehan tidak jelas dari wanita di depannya ini.

"Ehh, tas Bapak ada bomnya?" tanyanya polos dengan wajahnya pucat seketika.

Devit menahan tawa. "Ga ada Dek, nih liat aja!" Devit menyerahkan ranselnya.

Gadis itu mundur beberapa langkah sembari  memperhatikan Devit dengan seksama. "Boleh juga nih orang tua," bisiknya di dalam hati yang paling dalam.

Devit jadi salah tingkah ditatap intens oleh ABG bening di depannya.

"Ada apa, Dek? kok liatinnya gitu?" tanya Devit.

"Ah, siapa yang liatin? Bapak baper aja." Wanita itu mengambil ponsel dari saku bajunya lalu dengan cepat memotret Devit.

Kepincut Janda Tetangga (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang