Part. 4

10.4K 631 30
                                    

Malam ini malam jum'at. Seperti biasa Devit selalu mengaji Alqur'an menghabiskan satu juz setiap malamnya. Suara merdu Devit saat tilawah menggelitik telinga tetangga kanan dan kiri kontrakannya. Namanya juga kontrakan, yaa tentu bisik-bisik saja bisa terdengar, apalagi mengaji dengan suara merdu nan tegas.

Hampir sebulan Devit tinggal di lingkungan itu, banyak sudah warga yang mengenal Devit, selain karena kesholihannya, sikap ramah dan peduli lingkungan, wajah Devit yang tampan menjadi magnet tersendiri, terutama bagi kaum ibu-ibu.

Termasuk Juwi dan ibunya serta Salsa anaknya Juwi. Setiap malam Salsa mendatangi rumah Devit untuk belajar mengaji, hingga akhirnya rumah kontrakan Devit, selepas magrib pasti penuh dengan anak-anak yang antri belajar mengaji. Seperti malam ini, Salsa yang berumur tiga tahun mengetuk pintu rumah Devit.

Tok..tok..

"Accametum," ucap Salsa dengan lidah cadelnya.

"Wa'alaykumussalam Caca, sini masuk!" Devit yang sangat mengenal aksen bicara gadis kecil itu, langsung saja menyuruhnya masuk. Kebetulan murid yang lain belum datang.

Salsa duduk di atas karpet yang sudah dibentangkan Devit di ruang depan kontrakannya. Wajah Salsa yang imut memakai kerudung bewarna pink bergambar buah strawberry.  Satu dua anak rambut keluar dari celah kerudungnya. Devit gemas sendiri dengan Salsa, dia menyukai gadis kecil itu, bukan ibunya.

"Caca mau baca peltama boleh tak Papa?" ucap Salsa.

"Panggilnya pak guru ya Caca, atau panggil Pak Devit," terang Devit mengajarkan Salsa untuk memanggilnya dengan sebutan seperti murid lainnya.

Salsa menggeleng. "No, papa aja," kata Salsa lagi. Wajahnya ditekuk karena cemberut. Devit tersenyum melihat wajah Salsa yang sangat tidak mirip dengan Juwi. Mungkin Salsa lebih mirip ayahnya, pikir Devit.

"Ya sudah yuk, Salsa baca pertama," ajak Devit mengarahkan Salsa untuk duduk di depannya membaca iqro' yang dibawa Salsa. Namun bukannya duduk di depan Devit, Salsa malah duduk di pangkuan Devit.

"Mau pangtu Papa," ucapnya kini sudah duduk manis di paha kanan Devit, sambil berpura-pura sibuk membuka iqro'nya. Devit membenarkan pecinya, sambil tersenyum kikuk. Kasihan Salsa sepertinya sangat merindukan ayahnya.

Tapi ke mana ayahnya? hingga sebulan Devit tinggal bersebelahan dengan mereka, tak pernah sekalipun Devit melihat ayah Salsa. Devit celingak celinguk memandang ke arah pintu, memastikan belum ada lagi yang datang, mengingat ini baru pukul enam lebih lima belas menit. Biasanya anak-anak yang lain datang pada pukul enam tiga puluh.

Devit mencoba bertanya pada Salsa hal yang sangat ingin dia ketahui, namun menanyakan langsung pada Juwi, tentu saja Devit merasa sungkan.

"Mmm ... Salsa sudah makan?" tanya Devit basa basi, masih sambil memangku Salsa.

"Cudah, Papa," jawabnya sambil tersenyum manis, menunjukkan gigi susunya yang tersusun rapi.

"Makan pakai apa?"

"Pate telu cepok."

"Enak deh," ucap Salsa lagi.

"Habis tidak makannya?"

"Habis Papa, benel," ucap Salsa sambil menarik-narik kerudungnya.

"Ayah Salsa kok belum pulang?" tanya Devit memberanikan diri, kini tangan Devit membenahi kerudung yang dipakai Salsa.

"Ayah Caca cudah di dalam tanah Papa, dikubul," jawabnya polos.

"Innalillahi, a-ayah..Caca sudah meninggal?" tanyanya sambil berbisik dengan tatapan iba kepada Salsa.

Kepincut Janda Tetangga (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang