Part. 7

9.3K 667 36
                                    

Devit meremas rambutnya kasar. Bagaimana dia bisa melupakan janjinya pada Sarah? Sekarang sudah pukul tiga sore, saat melewati pasangan suami istri yang memakai pakaian resmi kebaya dan batik, seketika juga Devit teringat akan Sarah. Tepat saat Devit berada di kantin rumah sakit hendak membeli kopi.

Lelaki itu juga baru tersadar ia lupa membawa ponselnya. Perasaannya sangat khawatir, bagaimana dengan calon istrinya nanti? pasti sangat kecewa dengan dirinya yang tidak memberikan kabar. Cepat Devit melangkah memasuki ruangan Salsa dirawat, tampak Juwi dan ibunya sedang berbicara.

"Maaf Juwi, Bu, saya pamit dulu ada urusan mendesak," ucap Devit dengan raut cemas.

"Pak Devit ga papa?" tanya Juwi keheranan.

"Tidak apa-apa Juwi, hanya saya melupakan janji dengan calon istri saya, saya pamit ya." Devit cepat melangkah keluar dari kamar perawatan Salsa.

Juwi dan ibu mendengar cukup jelas yang barusan Devit katakan.

"Ya ampun Wi, Ibu jadi ga enak sama Devit. Gara-gara kita, dia lupa ada urusan dengan calon istrinya."

Juwi tak tahu harus komentar apa, saat ini perasaannya pun menjadi tak enak dengan Devit. "Semoga calon Pak Devit gak marah ya, Bu, Juwi jadi takut," gumamnya pelan. Bu Nurmi mengaminkan dalam hati.

****

Devit sudah berada di depan sebuah rumah cukup besar, dalam komplek perumahan elit. Taksi menurunkannya tepat di depan rumah Sarah. Sambil mengucapkan salam, Devit bertemu dengan penjaga rumah lalu menyampaikan maksud kedatangannya.

Penjaga tersebut mempersilakan Devit masuk setelah mengonfirmasi ke dalam rumah melalui pesawat telepon.

"Assalamualaikum," ucap Devit berdiri di depan pintu rumah Sarah. Pintu tersebut sedikit terbuka, tak lama tampaklah seorang gadis cantik dengan gamis ungu dan kerudung panjangnya, membuka lebar pintu rumahnya untuk Devit.

"Wa'alaykumussalam," sahutnya dengan nada suara lemah. Devit semakin merasa bersalah.

"Masuk, Kak," ucapnya, kemudian mempersilakan Devit duduk di sofa besar ruang tamu. Sarah duduk di seberang Devit sambil memilin ujung kerudungnya, raut wajahnya sedih juga kecewa.

"Maaf Sar, Kakak tadi ..."

"Sebentar saya buatkan minum dulu," sela Sarah lalu berjalan ke arah dapur. Hati Devit semakin was-was. Sarah kembali dengan dua cangkir kopi dan kue brownis keju buatan Sarah yang memang khusus ia buat untuk Devit.

"Silahkan, Kak."

Devit mengangguk canggung.

"Sekarang, Kakak bisa jelaskan kenapa kakak tidak menepati janji hari ini?" ucap Sarah tegas tanpa menatap wajah Devit. Setelah Devit menyeruput kopi buatan Sarah

"Begini, tetangga yang punya kontrakan saya, anaknya sakit panas, sampai kejang. Sehingga saya membantu mereka. Karena terburu-buru, saya juga melupakan ponsel. Jadi ini saya dari rumah sakit langsung ke sini, saya tahu kamu pasti kecewa, tapi semua diluar kendali saya, Sar.
Tetangga saya orangnya baik dan memang ekonominya pas-pasan. Jadi saya menolong mereka, tolong maafkan saya ya," terang Devit dengan menatap gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya dengan tatapan bersalah.

"Baiklah, Kak. Saya maafkan. Tolong hal seperti ini jangan diulangi lagi. Kecuali kakak memang tidak berniat meneruskan acara pernikahan kita." Ucapan Sarah begitu menusuk ke hati Devit.

Iya dia tidak boleh lagi bermain-main dalam mempersiapkan pernikahan mereka.

"Baik, Sar. Saya akan usahakan tidak gegabah lagi dalam hal apapun, dan memprioritaskan persiapan acara kita," ucap Devit penuh kelegaan saat raut wajah Sarah berubah teduh. Inilah salah satu yang membuat Devit menyukai Sarah. Gadis yang tidak suka berbasa-basi, tidak lebay dan apa adanya. Meskipun dari kalangan berada, namun Sarah tetap rendah hati.

Kepincut Janda Tetangga (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang