👔Unspeakable: Four.👔

8.3K 802 21
                                    


“Tak apa jika harimu berat, itu artinya peranmu hebat.”

👔👔


     “Assalamualaikum,” ucap Sandi seraya mendorong pintu utama rumah. Wangi apel langsung menyeruak saat dia melangkah dan menutup pintu lagi.

    Sepatu PDH yang tadi ia jinjing diletakkan di rak sepatu dekat gantungan jaket pojok ruangan. Jam lima sore begini rumahnya masih sepi, karena kadang Sandi datang paling awal setelah itu baru Kakak laki-lakinya, Satria. Kakaknya tiga tahun lebih tua dari Sandi, yang kini memasuki semester 2 di salah satu universitas swasta, Bandung.

    Sandi memasuki kamar dengan lunglai, merasa seluruh tulangnya rontok akibat pelatihan di ekstrakurikuler tadi. Walau sudah terbiasa sejak kelas X disibukkan di anggota OSIS dan ekstrakurikuler, tapi yang namanya berdiri di tengah lapangan tanpa peduli sinar mentari menyengat bisa mendatangkan lelah.

     Cowok bergaya rambut belah dua itu merebahkan diri di lantai, sayang jika di atas kasur. Tubuhnya masih bau keringat. Sembari rebahan nikmat, tangannya membuka ponsel.

   “Eh, kerkom di Lian's Cafe!” pekiknya kaget saat mendapat pesan dari Wahyu. Sandi lupa, sungguh.

    Tangannya segera mengetik cepat membalas spam chat dari teman semasa MOS itu. Seolah lupa dengan penat, Sandi beranjak bangun dan mengambil handuk untuk segera mandi.

    Hanya sepuluh menit, Sandi segera memakai baju kaos tipis dan jaket kebesaran berwarna army. Kaki panjangnya dibalut training hitam dan garis putih di pinggir. Matanya sedikit sayu tapi tidak melunturkan aura cerahnya. Sandi memang tidak seganteng cowok blasteran kebanyakan seperti Wahyu, tapi cowok ini memiliki khas yang unik, yaitu memiliki senyum yang cerah karena gigi gingsul di kanan dan tahi lalat di tengah antara alis membuatnya cukup terkenal di kalangan kaum Hawa.

     Baru saja Sandi membuka pintu kamar siap pergi, ponsel di saku jaketnya bergetar. Nama Wahyu Abimanyu tertera membuat Sandi segera menjawab panggilan.

    “Iya, gue ke sana 15 menit lagi,” balas Sandi atas gerutu Wahyu di seberang.

    Sandi mengakui cukup teledor hari ini, selain memikirkan kebohongan tentang ponsel Jihan, ia juga lelah dengan semua jadwal hari ini, menimbulkan rasa ingin tenggelam di bumi saja.


👔👔



      Tring!

     Bunyi lonceng di atas pintu kaca menggema di Cafe yang sedikit ramai. Sandi mengedarkan mata sayunya ke setiap meja mencari di mana Wahyu. Cowok blasteran Indonesia-Jerman itu melambai excited kala Sandi menemukan keberadaannya.

     “Maaf, telat.” Sandi langsung duduk, kakinya sudah pegal tidak ingin berdiri lagi. Wajahnya juga tampak pucat karena lelah.

    “Lo baru pulang eskul?” tanya Lugi, teman satu kelompok Sandi dan Wahyu.

    Sebenarnya satu kelompok terdiri dari empat orang, tapi karena kelas IPS 2 jumlah laki-lakinya ganjil jadilah kelompok mereka hanya bertiga. Sandi mengangguk saja, kemudian menarik minuman kopi milik Wahyu dan meneguknya hingga setengah.

   “Lo belum makan, San.” Wahyu berdecap geram pada temannya itu, sedikit merasa bersalah karena sudah memarahinya tadi di telepon.

    “Kafein doang. Udah sampe mana kerjanya?” tanya Sandi memulai.

   “Untuk materi presentasi Sosiologi udah gue cari, tinggal salin aja. Ketik di laptop,” jawab Lugi, memperhatikan buku paket tebal ke dekat Sandi, beberapa hal penting diberi garis bawah oleh pensil.

    “Hm, bagus. Gue yang bagian ketik aja.” Sandi mengambil alih laptop yang sudah menyala, membuka power point.

    “Nanti pas revisi sama edit biar sama gue, San.” Wahyu menyahut meski matanya sibuk ke buku catatan Sosiologinya.

    “Padahal ini bisa kita kerjain berdua, lo capek banget kelihatannya,” kata Lugi, cowok itu tengah memainkan game cacing karena baru dikirim oleh Wahyu tadi. Wahyu menyebarkan virus game cacingnya, dasar berbahaya!

    Sandi menutup mulutnya yang menguap kemudian menggeleng pelan, “It's okay. Ini juga kelompok gue, masa gak kerja.”

   “Sampe isya aja, selebihnya biar sama kita,” ucap Wahyu pengertian. Dia ikut menatap ke layar laptop, menggerakkan mouse untuk memperbaiki posisi.

    “Hm,” Sandi hanya sanggup berdeham. Dia sudah cukup lelah tubuh, tidak ingin sampai lelah bicara. Dia sudah berangan ingin tidur di atas kasur yang empuk. Sabar kasur, Sandi akan tiba setelah Shalat isya nanti.



👔👔




       Di salah satu pameran di Bandung, Jihan kini berada. Dia sudah berputar-putar selama beberapa jam mulai dari stan makanan dan berakhir di stan penjual buku bekas tapi masih bagus. Selain suka baca wattpad dan hal berbau k-pop, Jihan juga suka membaca buku novel.

     Hari ini Jihan memakai sweatshirt longgar berwarna pink dan celana jeans putih, jilbab pasmina berwarna cream senada dengan sepatunya yang ikut berwarna cream. Tas selempang berbentuk kucing itu sudah kosong, karena bukan seorang Jihan jika tidak membeli makanan. Garis bawahi itu, dan sekarang sisa uangnya dia gunakan untuk memborong buku incarannya selama ini.

    Di waktu isya baru Jihan pulang. Tapi di perjalanan pulang, Jihan merasa ada yang aneh. Bukan merinding, Jihan tidak takut hantu. Hal aneh itu dari motor scoopynya. Di jalan sedikit sepi, Jihan memutuskan berhenti.

    “Tuh 'kan, bener kempes!” erang Jihan tak kuasa menahan kesal.

    Mau tak mau cewek ini turun dari motor tersayang, berjongkok untuk mengecek ban belakang motornya. Kempes tipis luar biasa.

    “Aduh! Kok kempes sekarang sih, coopy? Gak besok-besok aja gitu,” gerutu Jihan.

   “Sekarang gue harus gimana? Eh, ini di mana?”

    Jihan linglung sendiri melihat sekitar yang gelap dan sepi. Sungguh, Jihan tidak takut hantu. Tapi takut preman. Spontan Jihan memeluk keresek hitam berisi lima buku novel.

    “Wah, siapa tau ada preman yang mau ambil buku gue,” cicitnya dalam sepi.

   “Duh, minta tolong siapa coba? Masa tiang listrik?”
    Jihan menatap tiang tinggi di sekitar kemudian bergidik, dia tidak segila itu.

    “Eum ... telepon? Iya! Telepon seseorang!” pekik Jihan gembira, dia sudah membuka tas kucingnya dan mengambil ponsel.

    “Yaahh,” Jihan mendesah lemas, ponselnya mati. Pasti gara-gara tadi dia gunakan untuk berfoto ria.

   “Gue harus gimana ini?” tanya Jihan frustrasi. Jihan melangkah ke sisi trotoar, terduduk di sana sembari memeluk keresek hitamnya.

    “Ya Allah, kirim pertolongan buat Jihan,” gumam cewek itu sambil bermain pasir tipis di aspal menggunakan telunjuk.

    Jihan semakin mengerucutkan bibirnya setelah lima menit ia duduk. Tidak ada yang lewat untuk membantunya. Sedih sekali Jihan.

    “Ya Allah, kok doa Jihan gak dikabulin?” racau Jihan lagi semakin ngaco.

   “Arghh! Gue pengen pulang!” jerit Jihan melas, dia selonjoran kaki pasrah. Memijat kakinya yang pegal karena berkeliling pameran begitu lama.

    Di tengah kefrustrasian Jihan, sumber cahaya berwarna kuning mendekati posisi Jihan. Disusul suara mesin motor yang kian melambat. Motor matic berhenti tepat di dekat selonjoran kaki Jihan, membuat cewek itu refleks mendongak. Mata almonnya berbinar gembira, dia mendapat pertolongan!

    Orang yang mengendarai motor matic itu membuka kaca helm, menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kelakuan Jihan.

    “HARUN!” jerit Jihan begitu gembira tiada tara.

    Cewek itu beranjak berdiri membuat keresek hitamnya jatuh, baru sadar ia segera memungutnya, kembali menatap Harun speechless.

    “Akhirnya, doa gue dikabul,” desah Jihan terharu.

    “Lo ngapain di sini? Jadi gembel?” tanya Harun.

    Jihan spontan melotot galak. “Enak aja! Emang Harun mau punya temen gembel?”

    Harun menaikkan sebelah alis. “Emang lo temen gue?” tanyanya balik.

    Jihan semakin dongkol, mencebikkan bibir sebal. Tapi ekspresinya berubah ceria ketika ingat Harun satu-satunya harapan. Tangannya menarik jaket Harun segan.

    “Harun, tolongin gue. Itu bannya bocor.” Jihan menunjuk motor scoppy berwarna pink itu.

   “Uang gue habis buat beli ini, jadi gak bisa dorong buat tambal ban,” jelas Jihan.

   Harun melirik keresek hitam yang ada di lengan putih Jihan. “Emang lo habis dari mana malem-malem gini?”

    “Ada pameran,” balas Jihan.

    Harun membuang napasnya, tidak asing dengan hobi anak aneh ini. Harun tiba-tiba turun dari motor, melepas jaketnya.

    “Nih, pake.”

   Jihan menatap jaket Harun dan orangnya bergantian dengan penuh horor. Jihan berkacak pinggang sebelum protes keras, “Harun, lo gak budek, 'kan? Gue minta tolong itu buat motor gue, bukan minta jaket lo.”

    Sabar, Harun. Menghadapi Jihan penuh ekstra sabar belum tentu bisa paham dengan isi pikiran gadis ini. Dia pasangkan jaket itu ditubuh Jihan.

    “Iya, gue bantuin. Sekarang pake jaketnya, dingin.”

    Sedetik berikutnya Jihan bersorak, doanya benar-benar terkabul. Terima kasih, Ya Allah!

👔👔


Unspeakable [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang