👔Unspeakable: Six.👔

7.4K 703 42
                                    

“Kita memang tidak peduli status kita, tapi telinga orang lain begitu butuh.”



👔👔



     “SANDI! HIDUNG LO KELUAR DARAH!” jerit Jihan heboh.

    Sandi sontak meraba hidungnya, menatap tangannya yang terkena cairan hangat. Bibirnya terkekeh melihat Jihan sibuk membuka tisu yang entah  didapat dari mana.

    “Ini,” serah Jihan memberi tisu begitu panik.

    Sandi menerima lembaran tisu, membersihkan selama beberapa menit karena tak kunjung berhenti. Dia sudah biasa, pasti ia kelelahan sejak kemarin tak sempat istirahat. Berbeda dengan Jihan yang sudah berkaca-kaca.

    “Eh, lo kenapa?” tanya Sandi menahan tawa.

    Jihan mencebikkan bibir seraya mengusap air matanya. “Gue kaget, jadi nangis.”

    Sandi menggeleng tak habis pikir, hanya karena kaget cewek ini sampai menangis. Sandi mengumpulkan tisu bekas yang penuh darah ke salah satu tempat kecil di dekat kunci motornya.

    “Nih, makasih.” Sandi mengembalikan tisu yang masih banyak ke Jihan.

    "Gue balik dulu."

    “Gue anterin!” pekik Jihan menahan pergerakan Sandi, membuat cowok itu mengerut bingung. Wajahnya semakin pucat, dan itu mencemaskan Jihan sejak tadi.

    “Apaan? Terus ngapain gue anterin lo pulang kalo lo nganterin gue balik juga?” Sandi terkekeh sendiri, rasanya tanpa Jihan melucu pun Sandi sudah bisa tertawa dengan melihat tingkah cewek ini. Terlalu imut rasanya.

   "Lagian rumah gue lima blok dari sini, lo mau pulang lagi jalan kaki?"

    “Yaa, gak papa dong. Hitung-hitung jongging sore. Pokoknya gue anterin!” balas Jihan kukuh.

    “Turun!” titahnya sok galak.

    “Lo mau begal gue?” tanya Sandi masih bercanda.

    “Sandi, gue serius. Ayo turun!”

    Sandi menurut saja, dia turun kemudian membiarkan Jihan menaiki motor maticnya. Cewek itu menstater begitu gampang seperti sudah terbiasa kemudian memarkirkan motor Sandi.

    “Ayo naik!" titah Jihan dengan senyuman ceria, padahal tadi sudah berusaha terlihat galak.


    "Bentar dulu,” tahan Sandi, cowok itu membuka helmnya kemudian memakaikan untuk Jihan. Jihan menyengir, baru sadar akan hal itu.

    “Udah? Ayo cepet naik!”

    Sandi kembali menurut, naik ke boncengan. Tak ada lagi yang bersuara, Jihan sudah mulai melajukan motor Sandi. Sementara Sandi yang terdiam di belakang perlahan menyandarkan dahinya ke tas pink milik Jihan, berharap rasa pusingnya cepat reda.



👔👔



       Setelah melaju dan bertanya bagaimana ciri-ciri rumah Sandi, Jihan menghentikan motor di depan sebuah rumah tanpa pagar. Pekarangan yang penuh dengan pepohonan hijau, terlihat menyejukkan. Sandi mulai turun disusul Jihan, dia menyerahkan helm yang tadi dipakai.

    “Kerudung lo miring, sini.”

    Sandi membenarkan jilbab Jihan yang sedikit miring karena habis memakai helm, kemudian menyelipkan beberapa anak rambut yang nakal keluar. Sekilas membuat Jihan begitu awkward.

    Satria, kakak laki-laki Sandi tampak menatap kedua sejoli itu dari pintu rumah. Biasanya Sandi pulang jam lima atau bahkan lebih, tapi melihat sekarang masih siang membuatnya bingung juga.

     “Kok udah pulang? Bolos, lo?” suara lantang Satria mengagetkan Jihan yang memang membelakangi area rumah Sandi.

    Satria mengerti saat melihat wajah pucat Sandi dari dekat, juga beberapa bercak merah di area kerah seragam batik Sandi.

     “Kakak gue,” ucap Sandi saat melihat Jihan menatap bingung sekaligus kesal pada Satria.

    Jihan mengangguk kemudian berkacak pinggang. “Kakak kok gitu sama Sandi? Suudzon, gak baik! Sandi itu lagi sakit,” gerutu Jihan bawel.

     Satria mengerutkan dahi, aneh dengan sikap Jihan. Seragam SMA tapi kelakuan selucu anak TK. Sandi terkekeh menutup mulutnya dengan kepalan tangan, Jihan begitu gamblang bersikap tanpa takut Satria marah. Benar-benar lucu.

    “He!” Satria mengetuk ujung depan jilbab Jihan membuat jilbab itu sedikit menutup jidat Jihan. “Siapa yang suudzon? Situ yang fitnah gue suudzon.”

    Jihan meniup ke atas membuat jilbabnya kembali rapi dan bulat. “Untung orang tua, gue gak suka berantem sama orang tua,” celetuk Jihan.

      Sandi terkekeh sendiri melihat raut kesal Satria, salahnya berani berdebat dengan Jihan.

      “Kak, anterin Jihan balik, ya?” pinta Sandi. Suaranya mulai serak dan melemah.

    Satria menatap Sandi, kemudian mengangguk singkat. “Lo cepetan masuk, ganti seragam, habis itu makan dan minum obat.”

    “Ji, lo pulang bareng Kak Satria, gak papa?”

    Jihan menatap Satria sinis sebelum kemudian mengangguk mau. Sandi tersenyum kecil dan pamit masuk ke dalam. Setelah Sandi pergi, Satria menatap wajah Jihan dengan jarak yang dekat.

    “Eh, pink berjalan! Lo ceweknya Sandi?” tanya Satria tanpa ramah.

    Jihan melotot kaget, bukan karena tuduhan Satria dia pacar Sandi, tapi panggilan itu.

    “Nama gue Jihan, bukan pink berjalan!”

    “Gak tanya,” balas Satria acuh.

Unspeakable [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang