👔Unspeakable: Eight👔

7.2K 661 17
                                    

    Hari Jumat, hari yang paling ditunggu seorang Jihan. Selain itu waktu dirinya bebas dari semua pelajaran, di hari itu juga dia bisa mulai streaming di Youtube tentang idol kesukaannya itu. Sayangnya, untuk hari Jumat sekarang tidak ada streaming. Karena beberapa menit yang lalu Nyonya besar keluarga Gergan menyuruh Jihan untuk membantu di butik.

   Fyi, Ibu Jihan memiliki satu butik di daerah pusat kota Bandung. Tidak sesekali Jihan sering disuruh berkunjung ke sana untuk menemani Ibu atau sekedar menyuruh gadis itu makan.

    Dan sekarang berbeda lagi alasan, Ibu Jihan meminta gadis itu membawakan satu jas hitam dari ruangan khusus baju-baju milik Ibunya ke butik sore ini juga.

    “Jeno! Gue mau ke butik, titip rumah jangan sampe kamu habisin isi kulkas!” jerit Jihan setelah duduk sempurna di atas motor scoopy yang selama dua hari ini lenyap dari pandangan karena ban bocor.

   “Oke, coopy. Kita jalan!” Jihan berseru riang kemudian melajukan motornya keluar pekarangan rumah.

    Di perjalanan hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Motor scoopy berwarna pink itu memasuki lahan parking 'Gergan's Boutique'.

    Jihan segera membuka helm, merapikan jilbab  berwana hitam itu lewat kaca cembung sebelum benar-benar turun dan membawa jas pesanan Ibunya.

   “Sore, teteh Jihan,” sapa resepsionis bernama Endah saat Jihan baru masuk. Jihan tersenyum lebar.

  “Sore juga, teh Endah. Ibu ada lantai dua atau di mana?”
  “Ada di ruang ganti, Teh. Mau saya antar?”

    Jihan menggeleng kuat, “Jihan udah gede, ah. Masa dianterin, hehe. Duluan, Teh.”

    Jihan kembali melenggangkan kakinya melewati berbagai macam manekin berbaju kebaya atau baju tren masa kini. Butik ini juga yang sudah menghidupi Jihan, Jeno, dan satu kakak tertua Jihan selain dari Ayah mereka tentunya. Tiba di ruangan khusus ganti, Jihan melambatkan ritme jalan. Ada satu orang laki-laki yang duduk di sofa membelakanginya. Dia kenal rasanya.

    “Sandi?” gumam Jihan tanpa sadar.

    Laki-laki itu menoleh kaget, bahkan sempat melotot kala melihat Jihan berdiri di belakang sofa. Sandi berdiri, mengabaikan ponsel yang ia pegang memiring, seperti tengah bermain game.

    “Loh, Jihan. Kok bisa di sini?” tanya Sandi spontan, tidak sanggup menahan lengkungan senyum.

    Jihan mengerjap beberapa kali kemudian menggeleng, “Sandi yang ngapain di sini? Ini butik Ibu gue.”

    “O-oh,” gumam Sandi canggung, “gue nganter Kak Satria pesan jas buat acara di kampus.”

    “Hm, nganter Kak Satria. Eh! Ada dia juga dong!” seru Jihan seraya mendekati Sandi. Sandi hanya mengangguk singkat, gemas dengan tingkah Jihan.

    “Lo lagi main apa?” tanya Jihan, “game cacing, ya?”

    Sandi yang baru sadar kembali menatap layar ponselnya, dia tadi sempat mem-pause game di sana. Seketika kepala Sandi mengangguk dan menyodorkan ponsel miliknya.

    “Mau main?” tawarnya.

    “Mauu!” sahutnya begitu cepat. Direbut ponsel hitam milik Sandi dan bergerak duduk di sofa.

   “Wahh, cacing lo keren! Nanti gue ikutin gini warnanya.”

    Entah ke mana larinya rasa bosan yang tadi menghinggapi Sandi, menguap habis melihat Jihan dengan senyum lebar sembari memegang ponselnya miring. Dia ikut duduk di sofa, menatap ponselnya.

    “Ih, ini gede banget cacingnya!” pekik Jihan girang. Sepatunya sampai berketuk beberapa kali saking gemasnya.

     “He, pink berjalan!” Sebuah suara menarik atensi Jihan dan Sandi menuju suara itu.

    Tatapan Jihan yang pertama kali ditatap sang pemilik suara, memberi kesan saling adu tatap tajam.

     “Eh, ada Kakak suudzon,” kata Jihan kemudian kembali fokus bermain game.

    Satria mendengkus seraya berkacak pinggang, “Gak sopan, dasar fitnah,” balas Satria sok galak.

    “Loh, Jihan kok malah mentok di sini sih kamu? Ibu 'kan suruh kamu bawa jas pesanan Ibu.” Seorang wanita cantik alias Nyonya besar Keluarga Gergan mendekati Jihan di sofa.

   “Mana jasnya?” pinta Ibu Jihan.

    Jihan mengambil jas yang ada di pangkuannya tanpa melepas pandangan dari ponsel, mulutnya berbicara polos, “Jihan gak mentok, Ibu. Jihan lagi seru main game bareng Sandi.”

    Ibu Jihan menggeleng tak habis pikir kemudian kembali mengajak Satria menuju ruangannya.

    “Jadi ini butik Ibu lo?” tanya Sandi tiba-tiba, Jihan hanya mengangguk.

    “Lo sering ke sini buat anterin pesanan Tante Sonya?” tanya Sandi lagi, dan Jihan hanya membalas dengan anggukkan, lagi.

   “Naik motor?” Jihan lagi-lagi mengangguk dan tidak sopannya tanpa menatap Sandi sekalipun. Otak jahil Sandi berputar cepat mencari ide, kemudian seringai muncul di ujung bibirnya.

    “Sayang udah makan?”

    Jihan mengangguk sekali tapi kemudian terdiam, menolehkan kepala spontan dan menatap Sandi sambil mengerjap. Bibir Sandi tersungging melihat wajah loading Jihan yang menurutnya lucu kuadrat itu. Berhasil.

    “E—eh? Gimana, Sandi?”

    “Whahaha!” Dan saat itu juga gelak tawa Sandi menggema. Sandi sampai menyandarkan kepalanya di sofa dan tangannya memukul-mukul sofa saking girangnya tertawa.

    Jihan yang benar-benar malu menutup wajahnya menggunakan bagian depan jilbab, tersenyum miris di baliknya. Ya ampun, kenapa Jihan seceroboh itu?

    “Aduh ... ciee yang baper dipanggil sayang. Haha!”

    Jihan menurunkan persembunyiannya, mencubit paha Sandi geram, “Siapa yang baper? Ngga ada! Ih!”

    “Aw! Jangan dicubit, aduh!”

   Jihan menggertakkan gigi lalu membalik membelakangi Sandi, berniat marah. Yang benar adalah pura-pura marah. Sandi bukan cowok pada umumnya, bukan membujuk justru cowok itu mengambil ponselnya dan berdiri.

    “Mau ikut?” tawar Sandi tepat di depan Jihan.

    Jihan mendongak bingung dan pertanyaan yang belum terlontar dijawab terlebih dahulu oleh Sandi, “Makan Mi Ayam di gang kompleks, malam Sabtuan di sana.”



👔👔



    Sesuai kata Sandi saat di butik, dia mengajak Jihan ke satu warung mi ayam di gang dekat kompleks. Jihan ikut saja, menurutnya sedikit seru saat yang lain justru malam mingguan Sandi malah mengajak malam Sabtuan. Apalagi ada kaitan dengan makanan, Jihan semangat terkoneksi 4G.

    Sandi menstandarkan motornya sebelum turun mengikuti Jihan yang sudah duduk anteng di salah satu bangku panjang.

   Sandi langsung masuk dan menepuk bahu abang-abang pemilik warung, “Oi, Bang. Dua porsi plus pangsit, ya?” pesannya.

    “Wah, Sandi, tumben pesan dua. Sama siapa?”

     “Tuh.” Sandi menunjuk Jihan yang ternyata tengah menatap interaksi mereka berdua. Bang Samsul si pemilik warung menoleh sebentar lalu tertawa kecil.

    “Alah, sama cewek ternyata. Pacar, San?”

    Sandi terkekeh pelan, “Aaminn, Bang. Gua duduk dulu.”

    Jihan menatap kedatangan Sandi dengan tatapan tajam, tapi malah terlihat lucu di mata Sandi. Cowok itu tersenyum memperlihatkan deretan gigi.

    “Kenapa?”

    Jihan tiba-tiba mengambil dua buah sumpit dan ditodongkan ke depan muka Sandi, “Sekali lagi lo mengaku-ngaku jadi pacar gue, colok nih!”

    Seketika Sandi tertawa pelan, kenapa baru beberapa menit dia bersama Jihan tapi sudah puluhan tawa keluar? Tangan Sandi menurunkan sumpit itu perlahan, menatap Jihan kemudian berkata, “Gue cuman mengaminkan, Ji. Salah gitu?”

    “Jelas salah!” sahut Jihan kesal, “lo bisa bikin Taehyung dan Jimin cemburu, Sandi!” lanjut Jihan memekik gemas.

    Nah, sekarang Sandi ingin kembali tertawa. Dia mencoba menahannya dengan ikut menodongkan dua buah sumpit.

    “Ji, omongan seseorang itu bagai sebuah doa. Gue cuman mengaminkan.”

   “Iyain, biar fast,” tukas Jihan sebal akhirnya. Dia memilih membuka tas selempang kucingnya dan mengeluarkan ponsel.

    “Harusnya nih gue itu lagi rebahan sambil nonton Run BTS bareng Jeno,” curah Jihan seraya menyandarkan ponselnya ke tempat sendok dan garpu. Halaman Youtube tengah buffering mulai tertera di sana.

    “Jeno siapa?” heran Sandi. Jika cewek penyuka pink ini membahas BTS bukan hal aneh, tapi nama itu asing di telinga Sandi.

    “Jeno itu ...” Jihan seketika terhenti berbicara, pikirannya seperti deja vu. Kemarin dia ditanya hal yang sama oleh Jeno tentang siapa Sandi. Dan sekarang, terbalik.

    “Jeno itu?” ulang Sandi menahan penasaran.

    Jihan sejenak mengerjap lalu berdeham kecil, “Jeno itu adik gue.”

 

  Mulut Sandi membentuk O besar disusul anggukan beberapa kali.

    “Kalo Sandi, siapanya gue?” tanya Jihan polos. Kelewat polos hingga membuat Sandi geram dan gemas menjadi satu. Baru saja Sandi akan menjawab, Bang Samsul keburu datang membawa dua porsi mi ayam pangsit.

    “Makasih, Bang,” ucap Jihan sembari memberi senyum kecil. Bang Samsul sampai pangling menatapnya.

    “Masya Allah, pacar lo cantik banget, San,” bisik Bang Samsul. Sandi meringis, dan hanya mampu membalas Alhamdulillah.

    “Jadi, Sandi itu siapanya gue?” tanya Jihan lagi. Cewek itu benar-benar ragu menganggap Sandi temannya, karena ketika memakai almamater OSIS Sandi seolah berubah menjadi segalak ayam betina yang sedang bertelur.

    Sandi mendengar nada gamblang Jihan memilih tersenyum tenang. Dia mengambil satu pangsit kemudian menyodorkan ke Jihan.

    “Ambil,” titahnya.

    Jihan sempat bingung tapi ia tetap mengambil pangsit asin itu. “Ini buat apa?”

    “Tanda pertemanan, mulai sekarang lo boleh anggap gue temen.”

     Speechless, sosok Sandi luar biasa gebyarkan hati Jihan di malam Sabtuan ini.



👔👔


Unspeakable [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang