"Begitu banyak cerita mengenai dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka selalu membicarakan tentang ketangguhan ilmu kedigdayaanmu. Aku sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang mereka rencanakan padamu. Tapi naluriku mengatakan, saat ini kau tengah masuk ke dalam perangkap untuk menguji sampai di mana tingkat kedigdayaan yang kau miliki," jelas Ki Arman.
"Hm.... Jadi kau sendiri juga tidak tahu tentang mereka, Ki?" ujar Rangga, agak menggumam suaranya.
"Terlalu sulit untuk memastikannya, Rangga," sahut Ki Arman.
"Tapi kenapa kau mengatakan kalau aku sedang masuk perangkap?" Rangga ingin kepastian.
"Hanya naluriku saja yang mengatakan begitu, Rangga. Dan biasanya, jika naluriku berkata begitu jarang sekali meleset," sahut Ki Arman lagi.
Rangga jadi terdiam, dan teringat kembali beberapa peristiwa yang sampai saat ini belum bisa dimengerti. Peristiwa yang dirasakan sangat aneh ini, yang berawal dari sikap aneh Pandan Wangi. Kepergian gadis itu katanya ingin menyelesaikan satu persoalan yang tidak diketahuinya. Pandan Wangi memang tidak mau mengatakan persoalan yang sedang dihadapinya.
Kemudian setelah Pandan Wangi pergi, muncul Cempaka yang membawa selembar surat daun lontar yang ditemukannya dikamar Pandan Wangi. Kemudian, muncul beberapa peristiwa yang tidak bisa dimengerti sama sekali. Sejak pergi mengikuti Pandan Wangi, sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti dihadang tanpa alasan yang pasti. Dan tampaknya, penghadang-penghadang itu sudah mengetahui kalau dia sedang mengejar Pandan Wangi.
Dari petunjuk merekalah, hingga akhirnya Pendekar Rajawali Sakti sampai di desa ini. Dan sekarang, seorang laki-laki tua yang mengaku bernama Ki Arman mengatakan kalau Pendekar Rajawali Sakti sedang. masuk suatu perangkap, yang kemungkinan besar akan berlumur darah. Mungkin juga berlumur darah si pemasang perangkap itu sendiri, atau juga berlumur darah Pendekar Rajawali Sakti.
Inilah yang membuat Rangga semakin bingung dan terus bertanya-tanya dalam benaknya. Tapi, pertanyaan itu belum juga bisa terjawab sampai sekarang ini. Dia benar-benar tidak tahu, apa sebenarnya yang sedang terjadi sekarang ini. Rangga juga jadi teringat dengan munculnya Mayang. Kemunculan gadis itu kembali, memang terasa sangat aneh. Terlebih lagi bila mengingat kata-kata yang diucapkan Mayang di kamar rumah penginapan.
Namun, Rangga belum bisa menarik suatu garis hubungan dari peristiwa yang satu dengan peristiwa lainnya. Meskipun dari semua peristiwa itu sudah bisa terlihat suatu mata rantai yang saling berkaitan, tapi Rangga belum bisa menghubungkannya satu sama lain. Rangga jadi teringat baris-baris kalimat yang tertulis di atas selembar daun lontar yang ditemukan Cempaka di dalam kamar Pandan Wangi.
"Ki! Kau tahu, di mana letaknya Lembah Kumala...?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Tahu," sahut Ki Arman. "Kenapa kau tanyakan lembah itu, Rangga?"
"Aku merasa kalau Pandan Wangi sedang menuju ke sana. Atau, bahkan mungkin juga sudah ada di sana," kata Rangga, agak perlahan suaranya, seperti ragu-ragu.
"Apa Pandan Wangi mengatakan tempat tujuan perginya?" tanya Ki Arman.
"Tidak," sahut Rangga.
"Lalu, kenapa kau punya pikiran begitu?"
Rangga tidak segera menjawab. Hatinya jadi ragu-ragu untuk memberi tahu surat yang ditemukan Cempaka di kamar Pandan Wangi. Karena, dia sendiri tidak tahu dari mana dan kapan surat itu diterima Pandan Wangi. Yang diketahuinya, dua hari sebelum berpamitan hendak pergi, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu selalu termenung sendiri. Dan di dalam surat itu, jelas tertulis Lembah Kumala.
"Tidak ada seorang pun yang mau menginjak lembah itu, Rangga. Dan lagi, letaknya sangat jauh dari sini. Masih memerlukan sedikitnya satu hari penuh menunggang kuda. Itu pun kalau tidak mendapat rintangan di jalan," jelas Ki Arman.
"Apakah lembah itu berbahaya, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
"Sebenarnya Lembah Kumala sangat indah. Tapi, sekarang telah dikuasai seorang tokoh persilatan berilmu tinggi. Entah sudah berapa orang yang secara sengaja atau tidak memasuki lembah itu. Tapi, sampai sekarang tidak lagi terdengar kabar beritanya. Hingga, lembah itu sama sekali tidak lagi didekati," jelas Ki Arman tentang Lembah Kumala.
"Siapa orang itu, Ki?" tanya Rangga semakin ingin tahu.
"Sebenarnya, namanya Ki Badranaya. Tapi orang-orang rimba persilatan selalu menyebutnya Setan Lembah Kumala," sahut Ki Arman lagi.
"Hm...."
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Sementara itu malam sudah hampir tergeser. Suara kokok ayam jantan sudah mulai terdengar saling bersahutan. Dan burung-burung pun sudah mulai terdengar berkicau. Tampak di ufuk timur rona merah sudah terlihat membias, menandakan fajar sebentar lagi akan muncul ke permukaan bumi ini.
Sementara Rangga dan Ki Arman masih terus berbicara di beranda depan rumah si Tua Tukang Perahu itu. Seakan-akan mereka tidak mempedulikan waktu yang terus berjalan. Dan mereka juga seperti tidak peduli kalau semalaman tidak memejamkan mata sekejap pun juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
67. Pendekar Rajawali Sakti : Perangkap Berdarah
ActionSerial ke 67. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.