BAGIAN 1

921 32 0
                                    

Awan hitam bergulung-gulung menyelimuti seluruh permukaan bumi Karang Setra. Angin bertiup kencang, menebarkan debu dan daun-daun kering ke angkasa. Sesekali, terdengar guntur menggelegar memekakkan telinga. Sedangkan titik-titik air mulai jatuh menghantam bumi. Namun, alam yang seakan murka itu tidak membuat seorang pemuda berbaju rompi putih harus menghentikan langkah kaki kudanya.
Pemuda berwajah tampan itu terus mengendalikan kuda hitamnya, mendekati sebuah bangunan batu berbentuk candi. Dengan gerakan ringan, dia melompat turun dari punggung kudanya. Pemuda itu berlari-lari kecil meniti anak-anak tangga batu yang mulai dibasahi titik-titik air. Langkahnya terhenti sebentar begitu sampai di depan pintu. Seorang gadis cantik berbaju biru muda tampak sudah menunggu di dalam bangunan berbentuk candi itu.
"Maaf, aku terlambat," ucap pemuda itu seraya melangkah masuk ke dalam.
Saat itu, di luar mulai turun hujan. Bagaikan ditumpahkan dari langit, hujan turun begitu deras. Sehingga, menimbulkan suara gemuruh yang mengiriskan hati. Kini di tengah-tengah ruangan yang cukup besar di dalam bangunan berbentuk candi, dua anak muda tadi telah duduk bersila saling berhadapan. Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih, dan seorang gadis cantik berbaju biru muda.
"Apa maksudmu memintaku datang kepesanggrahan ini, Pandan?" terdengar pelan dan lembut sekali suara pemuda berbaju rompi putih itu.
Sedangkan gadis cantik berbaju biru muda yang ternyata memang Pandan Wangi, hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaan itu. Malah, dipandanginya wajah tampan di depannya. Pemuda berbaju rompi putih itu tak lain adalah Rangga, yang di kalangan persilatan lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa saat mereka terdiam, hanya saling pandang saja.
"Kau punya persoalan, Pandan?" tanya Rangga lagi.
"Mungkin...," sahut Pandan Wangi, terdengar agak mendesah suaranya.
"Mungkin...?! Jawabanmu sama sekali tidak ku mengerti, Pandan. Lagi pula, tidak biasanya kau meminta ku datang ke sini. Kalau ada masalah yang ingin kau katakan, aku bersedia mendengarkannya," kata Rangga jadi heran atas sikap Pandan Wangi yang tidak biasanya ini.
"Aku ingin pamit, Kakang," begitu pelan sekali suara Pandan Wangi, sampai hampir tak terdengar ditelinga Rangga.
"Kau jangan macam-macam, Pandan. Ingin pamit ke mana...?" Rangga semakin heran tidak mengerti.
"Aku akan pergi," tetap pelan suara Pandan Wangi.
"Ke mana...?"
Pandan Wangi tidak menjawab, tapi malah memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan, ada ganjalan yang begitu berat di dalam dadanya, dan seperti sukar untuk mengatakannya.
Sedangkan Rangga membalas tatapan gadis itu dengan sinar mata penuh rasa keheranan. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak mengerti atas sikap Pandan Wangi yang begitu aneh dan tidak biasanya ini. Rangga menduga, pasti ada sesuatu yang terjadi pada diri gadis itu. Tapi hal itu tidak bisa ditebak sekarang ini. Terlalu cepat kalau menebak sekarang. Sedangkan Pandan Wangi sendiri seperti berat untuk mengatakan, apa yang menjadi ganjalan dalam hatinya saat ini.
"Sudah begitu lama kita saling mengenal dan selalu bersama-sama. Dan kau tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, kenapa sekarang seperti merahasiakan sesuatu padaku, Pandan?" tanya Rangga mendesak.
"Aku tidak ingin kecewa lagi, Kakang. Sudah terlalu banyak kekecewaan yang kuterima selama ini," masih terdengar pelan nada suara Pandan Wangi.
"Kecewa ? Siapa yang membuatmu kecewa, Pandan? Apa kau kecewa padaku? Atau, pada peraturan kerajaan yang tidak mengizinkan kita bersatu sebelum asal-usulmu diketahui...?"
"Bukan.... Bukan itu, Kakang."
"Lalu...?"
Pandan Wangi kembali terdiam. Perlahan kepalanya tertunduk, menekuri permadani merah muda yang menjadi alas lantai bangunan pesanggrahan berbentuk candi ini.
"Katakan, Pandan. Ada persoalan apa sebenarnya?" desak Rangga lagi.
Pandan Wangi tetap terdiam. Dan Rangga semakin tidak mengerti melihat sikap gadis ini. Duduknya digeser semakin dekat. Lalu, perlahan-lahan diangkatnya wajah gadis itu dengan ujung jarinya. Kini mereka kembali bertatapan.
"Aku ingin kau merelakan aku pergi, Kakang," kata Pandan Wangi, begitu perlahan sekali suaranya.
"Kau ingin meninggalkanku, Pandan?" suara Rangga juga terdengar pelan.
"Untuk sementara," sahut Pandan Wangi sambil menjauhkan jari tangan Pendekar Rajawali Sakti dari dagunya.
"Lalu, ke mana kau akan pergi?"
Pandan Wangi tidak menjawab. Perlahan gadis itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati pintu yang terbuka lebar. Suara gemuruh air hujan yang menghantam tanah, terdengar bagai gemuruh hati Pandan Wangi saat ini. Sementara Rangga masih tetap duduk bersila beralaskan permadani tebal berwarna merah muda yang menutupi seluruh lantai ruangan pesanggrahan ini.
"Kau ingin pergi dariku. Maka, tentu ada alasannya, Pandan," desak Rangga, masih tetap duduk bersila pada tempatnya.
"Untuk kali ini aku minta pengertianmu, Kakang. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Hanya kuminta, kau merelakan kepergianku untuk sementara. Percayalah... aku pasti kembali lagi ke sini padamu, Kakang" kata Pandan Wangi seraya memutar tubuhnya berbalik.
Gadis itu melangkah perlahan dan kembali duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti. Untuk beberapa saat mereka kembali terdiam. Dan Rangga terus memandangi wajah cantik itu. Sepertinya, dia ingin mencari jawaban dari semua sikap aneh Pandan Wangi sekarang ini. Tapi, sama sekali tidak ditemukan jawaban yang diinginkannya. Wajah Pandan Wangi begitu mendung, semendung langit di luar sana.
"Aku mohon padamu, Kakang...," ujar Pandan Wangi berharap.
"Kau bersungguh-sungguh ingin pergi, Pandan?" tanya Rangga seperti belum percaya pada keinginan gadis ini.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
"Untuk berapa lama?" tanya Rangga bernada menyerah.
"Aku tidak tahu pasti," sahut Pandan Wangi, masih perlahan suaranya.
Rangga mengangkat bahunya sambil menghembuskan napas panjang. Terlihat, ada kesungguhan dalam sinar mata si Kipas Maut itu. Dan dia tahu, kalau Pandan Wangi menginginkan begitu, tidak akan mungkin bisa menghalangi lagi. Meskipun dengan hati berat, Rangga harus bisa meluluskan permintaan Pandan Wangi yang tidak pernah diduga selama ini. Rasanya memang sukar bisa diterima. Masalahnya, sudah begitu lama mereka bersama-sama dalam mengarungi ganasnya rimba persilatan. Malah, sudah berbagai macam persoalan dihadapi bersama.
Namun sekarang ini, tiba-tiba saja Pandan Wangi hendak meninggalkannya dalam waktu yang tidak bisa dipastikan. Meskipun tadi si Kipas Maut sudah mengatakan hanya sementara, tapi masih juga Rangga merasakan begitu berat. Namun, Pendekar Rajawali Sakti memang tidak bisa berkata lain lagi, selain meluluskan permintaan gadis yang sangat dicintainya ini. Walaupun, dengan hati yang begitu berat.
"Kapan kau akan berangkat?" tanya Rangga, agak mendesah suaranya.
"Setelah hujan berhenti," sahut Pandan Wangi.
"Cepatlah kembali kalau persoalanmu sudah selesai," pinta Rangga.
"Terima kasih, Kakang. Aku berjanji...," ucap Pandan Wangi.
"Aku akan selalu menunggumu di sini. Karang Setra selalu membuka pintu untukmu, Pandan," ujar Rangga.
Pandan Wangi hanya terdiam saja. Tidak ada lagi yang bisa diucapkan. Dan Rangga juga terdiam memandangi wajah cantik yang kelihatan berselimut kabut ini. Tidak ada yang berbicara lagi. Sementara, hujan masih turun deras sekali menyirami seluruh permukaan bumi Karang Setra.
Rangga berdiri di depan pintu pesanggrahan yang berbentuk candi ini, memandangi kepergian Pandan Wangi yang menunggang kuda putih. Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tegak tanpa berkedip, meskipun Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi, tertelan lebatnya pepohonan. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti baru menuruni anak-anak tangga pesanggrahan ini, setelah tidak lagi mendengar derap kaki kuda yang membawa Pandan Wangi pergi.
Tapi, ayunan langkahnya jadi terhenti begitu telinganya kembali mendengar langkah kaki kuda yang dipacu cepat menuju ke pesanggrahan ini. Rangga cepat mengalihkan pandangan ke arah bunyi kaki kuda yang didengarnya semakin jelas.
Tak berapa lama kemudian, terlihat seekor kuda yang dipacu cepat oleh seorang gadis cantik mengenakan baju warna merah muda. Kening Rangga jadi berkerut, melihat Cempaka memacu kuda begitu cepat menuju ke arahnya. Gadis itu langsung melompat turun, begitu sampai di dekat Pendekar Rajawali Sakti.
"Kak Pandan mana, Kakang...?" Cempaka langsung bertanya dengan napas agak tersengal.
"Baru saja pergi," sahut Rangga.
"Aduh! Celaka...!" sentak Cempaka.
"Heh...?! Ada apa ini...?" tanya Rangga jadi kebingungan.
"Kenapa kau biarkan Kak Pandan pergi...?" Cempaka malah bertanya, menyesali Pendekar Rajawali Sakti yang membiarkan si Kipas Maut pergi.
"Dia sudah pamitan denganku. Dan aku tidak...."
"Kenapa diizinkan? Seharusnya kau menahannya supaya tidak pergi, Kakang," potong Cempaka cepat.
"Kenapa kau kelihatan cemas sekali, Cempaka? Ada apa sebenarnya dengan Pandan Wangi?" tanya Rangga tidak mengerti.
Cempaka tidak menjawab. Dikeluarkannya lipatan daun lontar dari balik kantung bajunya. Lalu, diserahkannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Dengan masih keheranan, Rangga mengambil lipatan daun lontar itu, lalu membukanya.
"Baca saja, Kakang. Aku menemukannya dikamar Kak Pandan," kata Cempaka.
Kening Rangga jadi berkerut dalam, saat membaca kalimat-kalimat yang tertera pada lembaran daun lontar itu. Sebentar kemudian ditatapnya Cempaka, sambil melipat kembali lembaran daun lontar itu. Lalu, dimasukkannya ke dalam saku ikat pinggangnya.
"Kenapa tidak dari kemarin kau berikan ini padaku, Cempaka?" ujar Rangga seperti menyesali.
"Aku baru menemukannya tadi. Itu sebabnya, aku langsung ke sini," sahut Cempaka tidak mau disalahkan.
"Kau pulang saja, Cempaka," kata Rangga seraya melangkah mendekati kudanya.
Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya. Seekor kuda hitam yang gagah, dan dikenal bernama Kuda Dewa Bayu.
Sementara Cempaka masih berdiri saja sambil memegangi tali kekang kudanya. Dan kini Rangga sudah memutar kudanya. Dia mendecak perlahan, menyuruh kudanya melangkah menghampiri gadis itu.
"Kau langsung kembali ke istana. Jangan mengikutiku," pesan Rangga tegas.
Dia tahu watak Cempaka yang haus dengan petualangan. Dan ketegasan Pendekar Rajawali Sakti, membuat Cempaka langsung terdiam. Memang, tadinya gadis itu bermaksud ingin ikut kakak tirinya ini. Tapi belum juga dikatakan, Rangga sudah menyuruhnya kembali ke istana dengan tegas. Dan Cempaka tidak bisa berbuat lain, kecuali mengangguk lesu.
"Hiya...!" Rangga langsung menggebah cepat kudanya. Maka kuda hitam Dewa Bayu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Tanah memang basah habis terguyur hujan, sehingga tidak menimbulkan kepulan debu. Cepat sekali Kuda Dewa Bayu berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan Cempaka. Sementara, gadis itu masih tetap berdiri mematung sambil memegangi tali kekang kudanya, memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Rangga terus memacu cepat kudanya. Dikerahkannya aji 'Tatar Netra' untuk mengimbangi lari kudanya, dalam memperhatikan jejak-jejak kaki kuda yang masih tertera begitu jelas di tanah yang basah berlumpur. Dia tahu, itu adalah jejak-jejak tapak kaki kuda yang ditunggangi Pandan Wangi.
"Hooop...!" Tiba-tiba Rangga menarik tali kekang, sehingga membuat kudanya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke udara. Seketika, kuda hitam Dewa Bayu berhenti berpacu. Dengan gerakan begitu ringan, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kuda. Keningnya jadi berkerut memperhatikan jejak-jejak tapak kaki kuda yang berhenti di tempat ini.
Heh...?!"
Rangga jadi tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar ringkikan seekor kuda yang begitu keras. Dan hatinya semakin terkejut saat seekor kuda putih yang amat dikenalinya, tiba-tiba muncul dari dalam semak belukar. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat menghampiri. Dikenalinya betul kalau itu kuda Pandan Wangi. Tapi, kuda itu tidak membawa Pandan Wangi di punggungnya.
"Putih, ke mana Pandan Wangi?" tanya Rangga begitu bisa memegang tali kekang kuda putih ini.
Kuda berbulu putih bersih itu hanya mendengus-dengus sambil menghentakkan kaki depannya ke tanah yang becek dan berlumpur. Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Tidak ada tanda-tanda kalau Pandan Wangi berada di sekitar tempat ini. Sejauh mata memandang, hanya pepohonan saja yang terlihat begitu lebat. Kemudian, dipanggilnya Kuda Dewa Bayu yang langsung menghampiri begitu melihat isyarat tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau bawa putih ke istana, Dewa Bayu," pinta Rangga.
Kuda Dewa Bayu mendengus pendek sambil menganggukkan kepala, seakan-akan mengerti apa yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian tanpa diminta dua kali, Kuda Dewa Bayu mengiring kuda putih milik Pandan Wangi meninggalkan tempat itu.
Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak mengedarkan pandangan berkeliling. Dan kini dua ekor kuda itu sudah jauh meninggalkannya. Arah yang dituju dua ekor kuda itu, jelas menuju Istana Karang Setra.
"Ke manapun perginya, pasti belum jauh dari sini. Aku harus segera mengejar sebelum terlambat," gumam Rangga bicara sendiri.
Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bergerak tiba-tiba saja....
Slap!
"Heh...?! Uts!" Rangga jadi terbeliak setengah hati, begitu tiba-tiba dari atas meluncur sebuah bayangan hitam yang begitu cepat. Untung saja tubuhnya cepat mengegos, sambil menarik kaki ke belakang beberapa tindak. Sehingga, dia tidak sampai terkena terjangan bayangan hitam yang muncul begitu tiba-tiba dari atas pohon.
"Hap...!"
Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting, berputaran beberapa kali ke belakang. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah yang basah oleh air hujan. Kini, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang laki-laki berusia muda. Dia mengenakan baju warna hitam ketat. Tampak dua buah gagang pedang menyembul tersilang dibalik punggungnya.
Sret!
Cring...!
Slap!
Bersamaan tercabutnya dua bilah pedang oleh laki-laki muda berbaju serba hitam itu, tiba-tiba saja dari balik pepohonan dan dari atas dahan pohon di sekitar Pendekar Rajawali Sakti, bermunculan orang-orang berpakaian serba hitam. Mereka semua menyandang dua bilah pedang di punggung. Dan sebentar saja, Rangga sudah terkepung tidak kurang dari delapan orang laki-laki berusia sebaya dengannya.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan, sambil merayapi delapan orang yang berdiri mengepungnya dengan rapat sekali.
"Sebaiknya kembali saja ke istanamu, Rangga. Tidak ada gunanya kau mengikuti Pandan Wangi," ujar pemuda berbaju serba hitam yang muncul pertama kali.
"Siapa kau dan kalian semua?" tanya Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Aku Wadagari. Dan mereka semua saudara-saudaraku," sahut pemuda berbaju serba hitam itu memperkenalkan diri.
"Perlu kau ketahui, Rangga. Kami semua ditugaskan untuk menghalangimu dalam mengikuti Pandan Wangi. Biarkan dia menyelesaikan urusannya sendiri tanpa campur tanganmu."
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Rangga.
"Kau tidak perlu tahu, Rangga. Sebaiknya, segeralah kembali ke istanamu. Tidak ada gunanya ikut campur dalam urusan pribadi Pandan Wangi," tegas Wadagari.
"Mungkin aku akan kembali ke istana, jika kau bersedia menjelaskan persoalannya," pinta Rangga kalem.
"Sayang sekali. Aku tidak bisa menjelaskannya padamu, Rangga," tolak Wadagari tegas.
"Kalau begitu, aku tetap pada pendirianku. Dan kalian tidak bisa menghalangiku," tegas Rangga.
"Itu berarti kau harus melewati kami dulu, Pendekar Rajawali Sakti."
Bat! Tring!
Wadagari langsung mengebutkan pedang, dan menyilangkan di depan dada. Pada saat itu, tujuh pemuda lain yang juga mengenakan baju ketat serba hitam segera mencabut pedang yang masing-masing menghunus dua bilah. Pedang yang tergenggam ditangan kanan dan kiri itu disilangkan di depan dada. Sorot mata mereka begitu tajam, tertuju lurus pada. Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan menyesal, Rangga," desis Wadagari memperingatkan.
"Aku khawatir kalian yang akan menyesal telah menghalangiku," balas Rangga tidak kalah dingin.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat..."
Bagaikan kilat, Wadagari melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kedua pedangnya dikebutkan cepat sekali. Gerakannya bergantian, menggunting ke arah beberapa bagian tubuh pemuda berbaju rompi putih itu.
Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil mengelakkan setiap serangan yang dilakukan Wadagari. Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang seringkali digunakan untuk menjajaki tingkat kepandaian lawan.
Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa bertahan lama dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', begitu pemuda-pemuda berbaju serba hitam lainnya berlompatan membantu Wadagari menyerangnya. Rangga terpaksa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dari delapan arah secara bergantian dan cepat sekali.
Dalam beberapa jurus saja berlalu, Rangga sudah bisa merasakan kehebatan jurus-jurus delapan orang lawannya ini. Setiap kebutan pedang mereka, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi sampai sejauh ini, Rangga belum juga menggunakan pedang pusakanya yang terkenal dahsyat. Pendekar Rajawali Sakti masih menggunakan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang cepat berganti-ganti.
"Uts! Yeaaah...!"
Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari sabetan satu pedang lawannya. Dan seketika itu juga, tubuhnya dirundukkan sedikit. Lalu, dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dalam tingkatan terakhir. Begitu cepat serangan balasannya, sehingga satu lawan yang hampir saja membelah tubuhnya dengan pedang, tidak dapat lagi menghindari. Tangan Rangga yang sudah berubah menjadi merah bagai terbakar itu benar-benar mengancam jiwanya.
Desss!
"Aaakh...!"
Pukulan yang dilepaskan Rangga memang dahsyat bukan main. Sehingga, pemuda berbaju serba hitam itu tidak dapat lagi bertahan. Tubuhnya seketika terpental deras ke belakang sambil menjerit nyaring melengking tinggi.
"Hiyaaat...!"

***

67. Pendekar Rajawali Sakti : Perangkap BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang