LIMA

542 85 14
                                    

Canggung!

Untuk beberapa saat, keheningan yang terasa aneh tercipta. Feyra mematung, memandang kaget kepada ayahnya. Rae juga tidak jauh berbeda. Wanita itu melongo, menatap bosnya. Dan rupanya butuh beberapa saat bagi Sang Bos untuk menyadari bahwa perkataannya menimbulkan reaksi aneh. Lelaki itu berdehem lalu menunjuk putrinya.

“Duduk, makanan sebentar datang.”

Tersadar dari kekagetan, Feyra kembali mencebikkan bibirnya. Gadis muda itu dengan malas mengambil tempat duduk di sebelah Rae, menghadap ayahnya.

“Gagal, kan?” tanyanya kepada Rae yang langsung mengerjapkan matanya, berusaha memulihkan isi otaknya yang mendadak kosong sesaat tadi, ketika mendengar ucapan bosnya.

“Belum. Ini masih dalam proses negosiasi,” jawab wanita itu tanpa mempedulikan alis mata Paksi yang sudah naik sebelah.

“Negosiasi apa?” tanya lelaki itu.

“Pak…” ucapan Rae terpotong oleh pelayan yang datang membawa pesanan mereka. Dengan sabar, wanita itu menunggu sampai makanan mereka selesai disajikan, “Pak…”

“Sudah. Makan! Nanti mienya keburu dingin dan melar. Mana enak,” potong Paksi cepat.

“Tapi, Pa…”

“Tapi, Pak…”

Kening Paksi berkerut dan menatap bosan kepada dua wanita di hadapannya.

“Kompak sekali kalian ya?” tanyanya.

“Pak…”

“Saya akan…”

“Bapak, tolong jangan potong ucapan saya terus. Rasanya tidak enak sekali daritadi mau bicara dipotong terus!” kali ini Rae yang memotong ucapan bosnya dengan suara agak keras, akhirnya tidak lagi mampu menahan gemas.

Paksi yang sedang membuka kertas pembungkus sumpit langsung menatap sekretarisnya. Begitu pula dengan Feyra, yang semula hendak lanjut memprotes ayahnya, sekarang berbalik menatap Rae.

“Okay…mau ngomong apa kamu?”

“Itu…sebentar, Pak, saya tiba-tiba lupa tadi mau ngomong apa,” otak Rae entah mengapa mendadak kosong lagi. Dia mengerjap bingung, lupa apa yang tadi akan dia utarakan. Berusaha untuk mengingat kembali apa yang hendak diucapkan, tanpa sadar Rae meraih sumpit milik Feyra, membuka kemasannya, lalu mengulurkan kepada gadis itu.

“Makan dulu, nanti melar mienya, ga enak. Nanti kalau sudah ingat, saya kasih tahu Bapak,” lanjut Rae seraya membuka kemasan sumpitnya sendiri dan mulai mengaduk la mien-nya.

Sambil memutar bola matanya, Paksi mulai mengaduk la mien-nya sendiri. Namun baru dia hendak menyuap, tiba-tiba Feyra, yang sedari tadi mengamati interaksi antara Ayah dan sekretarisnya, melemparkan bom.

“Jadi, apa kalian berencana menikah?”

Spontan Paksi menghentikan suapannya dan menatap putrinya. Rae juga melakukan hal yang sama, hanya saja wanita itu pakai acara tersedak yang membuat wajahnya memerah.

“Tidak,” jawab Paksi tenang seraya menyodorkan gelas minuman kepada Rae.
Seakan tidak percaya pada jawaban ayahnya, Feyra menoleh kepada Rae yang sedang meneguk minuman. Wanita itu langsung melambaikan tangan sambil menggeleng.

“Lalu kenapa Papa bilang dia seperti Mama?” tanya Feyra curiga.

“Karena dia mengatur bagaimana Papa seharusnya mendidik kamu, seakan-akan dia mamamu.”

“Tidak. Kami tidak akan menikah,” jawab Rae kepada Feyra setelah selesai meneguk minumannya. Wanita itu lalu menoleh kepada bosnya, “dan saya tidak sedang mengatur Anda, Pak. Saya hanya memberi masukan.”

BUCINLICIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang