"Okay, so hal pertama pertama yang perlu kita lakukan adalah membuat daftar!"
Rae menatap sepupunya, seakan Ningrum sedang memberitahunya kalau kucing bisa terbang. Malam ini, anehnya dia menurut saja dan benar-benar menginap di rumah Ningrum.
"Daftar tentang lelaki seperti apa yang kita mau," lanjut Ningrum, mengabaikan tatapan aneh Rae.
"Rum, kalau-kalau kamu lupa, kita ini bucin taraf akut. Ga usah deh gaya-gayaan bikin kriteria."
"Sudah, nurut saja. Kita buat daftarnya, hafalkan di kepala, kita doakan setiap hari. Ya masak sih Tuhan ga ngabulin kalau kita tiap hari mengetuk pintu surga dengan doa?"
Rae kesedak minuman.
"Ini kenapa kamu jadi religius gini ya? Cringe tahu, Rum, denger kamu ngomongin surga dengan suara serak-serak kek gitu!"
Gemas, Ningrum memukul kepala Rae dengan buku tulis di tangannya.
"Mingkem aja deh kamunya, nurut sama aku apa susahnya sih? Nih, tulis!"
Ningrum menyodorkan selembar kertas yang dia sobek dari buku tulis merk Sinar Dunia.
"Aku ndak punya kriteria, Rum. Oh, ada satu kriteriaku, yang penting mau."
"Idih, udah banyak dosa, masih juga suka bohong. Emang kamu mau diajak nikah sama Mas Gading?"
Rae mengerjap lalu menelengkan kepala, menatap heran kepada Ningrum.
"Memang kenapa dengan Mas Gading?" tanyanya.
Gading adalah anak pak RT, yang walau sudah berumur hampir 40 tahun dan masih tinggal dengan orang tuanya. Selain fakta bahwa lelaki itu sangat pendiam dan jarang bergaul, suatu hal yang aneh mengingat bapaknya adalah ketua RT dan ibunya mengenal semua warganya, di mata Rae tidak ada yang aneh dengannya.
"Hah? Kamu mau menikah sama lelaki model patung batu gitu? Diam, ga ada suara, ga pernah keluar ngumpul-ngumpul...sampai aku pikir dia ini vampire yang bakal kebakar kalau kena sinar matahari. Terus nih ya, coba pikir, usia udah hampir 40 tahun, masih tinggal sama orang tua plus kerjaan tidak jelas. Yang ada juga kalau menikah sama dia, bapak dan ibu RT yang menafkahi kita bukannya dia."
"Lhaa, kenapa kamu jadi pidato soal Mas Gading? Orang yang ga tahu dikira kamu pernah ditolak sama dia kalau melihat betapa berapi-apinya kamu marah-marah kayak gini."
"Idiiih, amit-amit."
"Ati-ati lho, Rum. Kata Ibu, sing gething, nyanding."
"Cuiiih. Nggaklah. Kamu aja gih sana bersanding sama jejaka tua yang masih numpang sama orang tua."
"Aku sih mau kalau dia mau..."
"Hah? Woiiii sadar, Nyi sanak! Kayak ga ada pilihan lain aja!"
"Emang ga ada, Rum. Makanya kita jadi bucin sampai sekarang."
"Sudah, sudah. Kok malah jadi ngebahas Mas Gading, sih. Nih kertas, tulis kriteria calon suami idamanmu! Seorang bucin sekalipun juga pasti punya kriteria calon idaman."
Malas berdebat lebih lanjut, Rae akhirnya ,mengambil kertas yang disodorkan Ningrum. Beberapa saat keduanya sibuk menulis dan berpikir.
"Udah? Coba lihat!" Ningrum meraih kertas Rae, begitupun sebaliknya.
"Hah? Apa-apaan ini! Kriteria macam apa ini! Nomor satu, lelaki kayak Pedro di Twelve Month before Christmas. Nomor dua kayak Elang di Stupid Love. Nomor tiga kayak Dewa di Timeless. Empat, kayak Jethro di The Backup Bride! Woiiii, mbak, jeng, kakak, bangun! Hadeeew, emang bangsat sih ya penulis Yavianti itu, bikin pembacanya halu! Bangun!" dengan kesal Ningrum mengacak-acak rambut Rae.

KAMU SEDANG MEMBACA
BUCINLICIOUS
Fiksi UmumMari berkenalana dengan Raecikal Lestari. Wanita lajang berusia 32 tahun. Bersama dengan sepupunya, Ningrum Pujiastuti, dia kemudian membuat tekad : menikah segera! Ternyata memang benar kata pepatah, di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Setelah...